Rabu, 04 Januari 2012

AL QUR’AN BERBICARA TENTANG AKAL DAN ILMU PENGETAHUAN


I.            Pendahuluan
Al-Qur’an, tidak lain adalah sebuah kitab suci, merupakan salah satu dari kitab-kitab suci yang diturunkan oleh Allah swt. melalui wahyu kepada Nabi Muhammad saw. Kitab yang disam-paikan kepada Rasul Allah terakhir ini adalah bagian dari induk al-Kitab di sisi Allah (Kitab Lauhul mahfuzh). Isinya memuat petunjuk kebenaran bagi kebahagian untuk orang yang percaya kepada-Nya, berupa terutama aqidah, syariah dan akhlak. Al-Qur’an itu sendiri sebagaimana kitab-kitab suci yang lain (Taurat, Zabur dan Injil) diturunkan pada suatu periode sejarah, artinya dibelenggu oleh jarak ruang dan waktu tertentu ketika Nabi Muhammad saw. menjalankan masa kerasulannya di tanah Arab. Meskipun diturun-kan di tanah Arab, akan tetapi pada hakekatnya Al-Qur’an adalah peringatan untuk seluruh umat manusia berlaku sepanjang masa, artinya Al-Qur’an untuk mengingatkan seluruh manusia (melalui proses kesadarannya) akan Ke-Maha Esa-an dan Ke-Maha Besaran Allah swt. yang menciptakan semesta alam jagad raya.
Dengan diturunkan Al-Qur’an ini, Allah memberikan petunjuk kepada umat manusia tentang kandungan rahasia alam kehidupan yang mengelilingi manusia. Sedemikian jauh, Al-Qur’an  berisikan garis besar pemahaman akan hakekat kemanusian dan alam sekitar kepada manusia, apabila manusia sanggup menggunakan akalnya (rasio) dan tidak hanya menggunakan hati nurani yang digunakan untuk menyatakan keyakinan terhadap tanda-tanda kebesaran Allah. Penggunan akal atau rasio ini pada dasarnya adalah untuk memperteguh hati nurani (fitrah/dhamir) dalam dada manusia dalam meyakini kebenaran yang disampaikan oleh Al-Qur’an  bahwa tidaklah diciptakan segala sesuatu itu sia-sia.
Manusia, sosok makhluk kreasi sang Pencipta semesta alam, dikaruniai kemampuan berpikir dan mengembangkan akal-nya dalam memahami hakekat dirinya sendiri dan alam sekitarnya[1]. Hal inilah pada dasarnya yang membedakan manusia dengan makhluk ciptan Tuhan yang lain. Kecerdasan akalnya ini telah me-nempatkan manusia untuk memiliki kebebasan dalam menentukan segala yang dikehendaki dalam kehidupannya di dunia berikut per-tanggung-jawabannya, dengan akalnya manusia sanggup melaku-kannya berbagai perubahan dan menciptakan kemajuan yang ber-arti bagi kemanusian dan dunia yang melingkupinya. Adanya ke-sadaran bahwa dengan menggunakan akal, manusia dapat ber-gerak dinamis (tidak statis) untuk mengikuti perubahan zaman dan kemajuan peradaban.
Untuk kelebihan yang dimilikinya ini, manusia dapat di-sebut sebagai manusia rasional yang mampu mempergunakan akal pikirannya. Artinya, dapat menerima segala sesuatu sesuai dengan kapasitas rasionalnya. Dengan akal pikiranya, manusia berusaha mengungkapkan segala rahasia yang ada di alam semesta untuk dapat didefinisikan, supaya dapat dimengerti dan juga mengandung pemahaman yang menyeluruh dan mendetail. Pada akhirnya, dapat memunculkan suatu pengetahuan tentang bukti-bukti empiris yang dapat dikenali oleh panca indra, akan tetapi akal juga dapat  menge-tahui hakekat mendasar dari objek tersebut, yaitu melahirkan filsafat. Kemudian, dengan adanya pengakuan terhadap manusia sebagai makhluk rasional muncul aliran tentang rasionalisme.[2]

II.            Rumusan Masalah
A.    Bagaimana Kedudukan  Akal dalam Al Qur’an?
B.     Bagaimana Keutamaan Ilmu Pengetahuan dalam Al Qur’an?
C.     Bagaimana Belajar Mengajar dalam Al Qur’an?
D.    Apa saja Mukjizat Ilmiah dalam Al Qur’an?

III.       Pembahasan
A.    Kedudukan  Akal dalam Al Qur’an
Kata akal menurut bahasa berarti mengikat dan menahan, seperti mengikat unta dengan pengikat (al-’iqal), dan menahan lidah  dari berbicara. Ibnu Mandzur juga berpendapat seperti ini, hanya ia menambahkan, selain berarti menahan (al-hijr) seperti menahan hawa nafsu, kata al-’aqal berarti kebijakan (al-nuha), lawan dari lemah pikiran (al-humq). Selanjutnya disebut bahwa al-’aql juga mengandung arti kalbu (al-qalb) dan kata aqala mengandung arti memahami. Arti asli dari ’aqala kelihatannya mengikat dan mengekang. Orang dapat menahan darah panasnya di zaman jahiliyah disebut al-aqil, karena ia dapat menahan amarahnya serta dapat mengambil sikap dan tindakan yang berisi kebijakan dalam mengatasi masalah yang dihadapinya. Jadi beberapa pengertian al-aql mempunyai keterkai-tan antara yang satu dengan yang lain.
Dengan demikian secara bahasa, kata al-aql mempunyai aneka macam makna. Di antaranya bermakna al-hijr atau al-nuha yang berarti kecerdasan. Sedangkan kata kerja (fi’il) ’aqala bermakna habasa yang berarti mengikat atau menawan. Karena itulah seseorang menggunakan akalnya disebut dengan ’aqil yaitu orang yang dapat mengikat dan menawan hawa nafsunya. Hal senada juga dijelaskan oleh Ibnu Zakariyah yang mengatakan bahwa se-buah kata yang memiliki akar kata yang terdiri dari huruf ain, qaf dan lam menunjuk kepada arti kemampuan mengendalikan sesuatu, baik berupa perkatan, pikiran maupun perbuatan. Selain itu menu-rut Ibrahim Madkour, akal juga dapat dipahami sebagai potensi rohani untuk membedakan antara yang haq dan yang bhatil. Secara lebih jelas lagi, Abas Mahmud al-’Aqqad menjelaskan bahwa ’aql adalah pemahaman hawa nafsu. Dengan akal manusia dapat mengetahui amanah dan kewajiban, akal adalah pemahaman dan pemikiran, akal juga merupakan petunjuk yang membedakan hidayah dan kesesatan, akal juga merupakan kesada-ran batin yang berdaya tembus melebihi penglihatan mata. Akal dalam pengertian ini, bukanlah otak sebagai salah organ tubuh, tetepi daya pikir yang terdapat dalam jiwa manusia. Akal dapat memperoleh ilmu pengetahuan dengan memperhatikan alam sekitarnya.
Akal sebagai daya pikir adalah aktivitas otak dengan data empirik sesuai dengan eksperience dan kecerdasan untuk men-dapatkan tujuan, atau mendapatkan hujjah atau menghilangkan kendala. Data empirik adalah sesuatu yang bisa dilihat atau di-saksikan dan dibuktikan, dan eksperience adalah pengetahuan yang diperoleh manusia sesuai dengan fakta empirik dan melalui metodologi ilmiah.
Adapun kecerdasan adalah gambaran tentang kemampuan dasar otak yang ada pada manusia yang berbeda tingkatannya. Daya pikir membutuhkan hujjah/dalil untuk membantunya. Dan hal itu tidak mungkin tercapai kecuali dengan menghilangkan kendala-kendala dan menghindarkan dari terjerumus dalam kesalahan dan skill dan semangat untuk melakukannya.
Penjelasan tentang batasan daya pikir ini tidak berbeda antara laki-laki ataupun perempuan. Pun penjelasan ini tidak me-nunjukkan adanya perbedaan perolehan ilmu yang terkait dengan penelahan otak, berpikir, dan belajar antara laki-laki dan perem-puan dari aspek daya pikir dan belajar juga, tidak menunjukkan adanya perbedaan kemampuan otak dan kecerdasan, syaraf otak, cara memperoleh informasi serta tidak ada keunggulan masing-masingnya kecuali hanya dalam hal-hal yang mempribadi.
Persoalan rasionalisme pada dasarnya telah banyak di jawab oleh Al-Qur’an. Umat Islam sebenarnya juga menafsirkan kebena-ran Al-Qur’an bahwa umat Islam dapat menggunakan pemikiran-nya dalam memahami berbagai fenomena di sekitarnya. Ketika kalangan intelektual Islam dan Al-Qur’an adalah sumber utamanya, sekaligus muara ilmu pengetahuan.
Al-Qur’an sebagai penuntun bagi rasionalisme dibagi men-jadi dua kategori ayat, yaitu ayat-ayat muhkamat dan ayat-ayat mutasyabihat. Ayat-ayat muhkamat adalah ayat-ayat yang sudah jelas arti dan maknanya sebagaimana tertulis dan mudah dipahami secara langsung ketika membacanya. Sedangkan ayat-ayat mutasyabihat adalah ayat-ayat yang belum dapat dimengerti arti dan maknanya (yakni berupa simbol-simbol dan perumpaman) ketika membacanya langsung. Dari ayat-ayat mutasyabihat inilah, umat Islam diajak untuk melakukan suatu pemikiran yang mendalam dan otomatis penggunaan metode rasional dihalalkan untuk memahami-nya harus sudah memiliki kapasitas keilmuan dan keyakinan akan kebenaran Al-Qur’an.
Sebagai sumber utama bagi rasionalisme, tentu saja kan-dungan Al-Qur’an tidak hanya sebatas pengetahuan tentang ke-agamaan saja akan tetapi banyak mengisyaratkan tentang filsafat dan teori-teori ilmu pengetahuan. Muatan kebenaran yang terkan-dung di dalamnya merupakan esensi dari segala sesuatu yang hen-dak dicapai oleh akal manusia. Hal ini akan memenuhi keingi-nan para penganut paham rasionalisme di kalangan intelektual Islam yang tidak pernah puas akan pengetahuan yang sudah haus akan kegairahan untuk mencapai tingkatan ilmu pengetahuan yang lebih tinggi.
1.      Redaksi Afala Ta’qilun dalam Al-Qur’an
Yang paling mencolok dalam redaksi tersebut adalah peng-gunaan bentuk pertanyan negatif (istifham inkari’) yang bertujuan memberikan dorongan dan membangkitkan semangat. Bentuk re-daksional seperti itu (afala ta’qilun) terulang sebanyak 13 kali dalam Al-Qur’an. Diantaranya adalah firman Allah swt. kepada Bani Israel sekaligus kecaman dalam QS. 2: 44,  
* tbrâßDù's?r& }¨$¨Y9$# ÎhŽÉ9ø9$$Î/ tböq|¡Ys?ur öNä3|¡àÿRr& öNçFRr&ur tbqè=÷Gs? |=»tGÅ3ø9$# 4 Ÿxsùr& tbqè=É)÷ès? ÇÍÍÈ
Terjemahnya:
Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca Al-Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?”
Perbuatan manusia yang bertentangan dengan pengetahuan-nya dan bertentangan dengan perintah yang ia berikan kepada orang lain, tidak akan timbul kecuali dari orang yang tidak lurus pemikirannya serta tidak matang akalnya. Manusia seperti ini bahkan, boleh jadi memiliki gangguan psikis.
Ayat lain yang di dalamnya terdapat bentuk istifham inkari yang sama adalah firman Allah swt. ketika mendebat Ahli Kitab (Yahudi dan Kristen) tentang masalah Ibrahim, termasuk usaha ahli Kitab untuk memasukkan Ibrahim bagian dari mereka sebagai Yahudi atau Kristen. Allah berfirman dalam QS. 3:65,
Ÿ@÷dr'¯»tƒ É=»tGÅ6ø9$# zNÏ9 šcq`!$ysè? þÎû tLìÏdºtö/Î) !$tBur ÏMs9ÌRé& èp1uöq­G9$# ã@ÉfRM}$#ur žwÎ) .`ÏB ÿ¾ÍnÏ÷èt/ 4 Ÿxsùr& šcqè=É)÷ès? ÇÏÎÈ
Terjemahan:
“Hai Ahli Kitab, mengapa kamu bantah-membantah tentang hal Ibrahim, padahal Taurat dan Injil tidak diturunkan me-lainkan sesudah ibrahim. Apakah kamu tidak berpikir?”.
Bagaimana mungkin orang dari generasi lebih awal di-masukkan dalam barisan orang yang datang kemudian? Tentulah hanya orang-orang yang tidak mempunyai otak yang berpendapat seperti itu.
Kita temukan juga ayat lainnya, seperti dalam firman Allah swt. dalam QS. 6:32 berikut.
$tBur äo4quysø9$# !$uŠ÷R$!$# žwÎ) Ò=Ïès9 ×qôgs9ur ( â#¤$#s9ur äotÅzFy$# ׎öyz tûïÏ%©#Ïj9 tbqà)­Gtƒ 3 Ÿxsùr& tbqè=É)÷ès? ÇÌËÈ
Terjemahan:
“Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka, dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa. Maka tidaklah kamu memahaminya?”
Kalaulah ditimbang antara perkampungan dunia dan akhi-rat, tentu yang lebih berat adalah akhirat. Kesenangan dunia itu hanyalah sebentar dan akan hilang. Rasulullah saw bersabda:
“Perbandingan dunia dengan akhirat adalah seperti orang yang mencelupkan salah satu jemarinya ke dalam lautan, lihatlah berapa banyak air yang dapat ia ambil.” (HR. Muslim).
Bagaimana mungkin nilai dunia kan mengalahkan keutama-an akhirat? Hanya orang-orang yang tidak berpikir yang mengata-kan seperti itu. Firman Allah swt. kepada Rasulullah saw. Dalam QS. 10:16 berikut ini juga merupakan contoh ayat yang di dalam-nya mengandung pertanyan senada.
@è% öq©9 uä!$x© ª!$# $tB ¼çmè?öqn=s? öNà6øn=tæ Iwur Nä31u÷Šr& ¾ÏmÎ/ ( ôs)sù àM÷VÎ7s9 öNàÏù #\ßJãã `ÏiB ÿ¾Ï&Î#ö6s% 4 Ÿxsùr& šcqè=É)÷ès?
Terjemahan
“Katakanlah: “Jikalau Allah menghendaki, niscaya Aku tidak membacakannya kepadamu dan Allah tidak (pula) memberi-tahukannya kepadamu”. Sesungguhnya Aku telah tinggal ber-samamu beberapa lama sebelumnya. Maka apakah kamu tidak memikirkannya?”.
Allah telah memberi perintah kepada Rasulullah saw. untuk menjelaskan kepada mereka bahwa diutusnya beliau, dengan mem-bawa Al-Qur’an ini, semata-mata atas kehendak Allah bukan karena kehendaknya sendiri. Telah puluhan tahun Nabi saw. hidup bersama mereka, sebelum itu beliau tidak pernah mendakwakan diri, berbicara atas nama Allah, atau mengaku-ngaku menerima wahyu. Maka bagaimana mungkin dapat diterima akal, orang yang sangat dipercaya selama 40 tahun kemudian tiba-tiba berdusta? Perjalanan beliau yang harus tiba-tiba ”meyimpang” dan melaku-kan tindakan yang kontroversial, tanpa sebab dan justifikasi. Pada-hal sampai saat itu, beliau tetap bersama mereka sehingga mereka selalu mengetahui kondisinya, baik pada saat berada di rumah maupun ketika bepergian, sendirian atau bersama orang lain.
2.      Ayat-ayat Kauniyah adalah Objek Kajian Akal (Rasio)
Beberapa redaksi tentang term akal dalam Al-Qur’an dapat ditemui pada QS.2:164, QS.30:24, QS.45:5, QS.13:4, QS.29:35, QS.22:46, QS.30:28, dan QS.6:10-11.
Di samping penggunan kata akal tersebut, amr penggunan akal sebagai alat pikir dalam Al-Qur’an seringkali dinyatakan dengan lafaz faqiha, dabbara, tafakkara, dan tadzakkara. Berbagai kata tersebut dapat dibangsakan ke dalam pengertian yang sejenis dengan paham dan mengerti serta berpikir di atas.
Harun Nasution dalam bukunya Akal dan Wahyu dalam Islam mengatakan bahwa akal dalam pengertian Islam adalah suatu daya pikir dalam jiwa manusia sebagaimana digambarkan dalam Al-Qur’an yang memperoleh pengetahuan dengan memperhatikan alam sekitar. Berbeda dengan wahyu yang membawa pengetahuan dari luar diri manusia yaitu Tuhan.
Selanjutnya Al-Qur’an sering menggunakan kata qalbu untuk menunjuk akal. Oleh karena itu pengertian akal menunjuk kepada seluruh kemampuan manusia untuk memahami. Dengan demikian termasuk di dalamnya intuisi, ilham, dan penghayatan.
Selain kata ’aqala dan tafakkara yang secara spesifik menyebut fungsi pikir, Al-Qur’an  juga menggunakan kata faqiha untuk menunjuk suatu kualitas dan proses pemahaman manusia. Selanjutnya secara khusus kata tafakkara digunakan Allah antara lain dalam surat al-Imran ayat 8, 191, dan 196.
Selain kata-kata di atas, Allah seringkali mempergunakan kata nadzara sebagai petunjuk alat memperoleh data yang merupa-kan bahan dasar pemikiran. Dengan demikian ilmu pengetahuan merupakan kunci sukses manusia secara duniawi maupun dihada-pan Allah. Dalam Al-Qur’an banyak istilah yang dipergunakan untuk menunjuk fungsi pengetahuan tersebut. Kata ilm misalnya lebih dari 100 kali disebut dalam Al-Qur’an .
Surat al-Mujadillah, misalnya ayat 11 dan al-Fathir ayat 28 menunjukkan pentingnya ilmu bagi pengembangan hidup manusia, sehingga kualitasnya di atas mahluk lain termasuk di atas malaikat. Berdasarkan kualitas pengetahuan manusia tersebut Allah meme-rintahkan malaikat untuk bersujud kepadanya.
Kecenderungan akliah di atas telah mendorong Muhammad Ibn Zakaria al-Razi mempercayakan seluruhnya kepada akal dalam menjelajah pencarian kebenaran dan pemahaman wahyu. Lebih jauh, Ibnu Thufail melalui novelnya Hayyi Ibn Yaqzdan mengisah-kan petualangan akal yang akhirnya bertemu dengan wahyu. Dalam kaitannya dengan fungsi dan posisi akal demikian, Harun Nasution menyakatan bahwa kelengkapan Al-Qur’an  harus diartikan dalam kaitannya dengan kemungkinan bagi akal untuk membedah bebe-rapa ketentuan umum wahyu tersebut.
Berdasarkan kecenderungan di atas, bahasan mengenai apa-pun saja di bidang ilmu pengetahuan tidaklah lengkap jika tidak membahas mengenai akal. Bahasan mengenai akal dalam perkem-bangannya sebagian besar hanya menyinggung teoritisasi dan siste-matisasi dari aktifitas akal. Logika dan juga metodologi adalah simbol dari aktifitas akan secara sistematis dan teoritis tersebut.
Apabila logika dibangun dalam kerangka sistem filsafat Yunani, maka seluruh ilmu pengetahuan yang dikembangkan ber-dasarkan tata pikir logika haruslah dikatakan bahwa ilmu pengeta-huan demikian merupakan fungsi daripada logika tersebut. Oleh karena itu seluruh hasil atau produk penalaran logika harus dipan-dang sebagai ilmu pengetahuan yang berlaku umum juga harus berlaku terhadap ilmu pengetahuan keIslaman tersebut.
Penggunaan daya nalar dalam upaya memahami makna ter-sembunyi dari wahyu adalah merupakan bagian dari fungsi wahyu itu sendiri. Bahkan wahyu itu sendiri, setidaknya yang termaktub dalam kitab Al-Qur’an memuat petunjuk yang berkaitan dengan sistematisasi aktivitas akal. Di banyak tempat dalam Al-Qur’an  terdapat dorongan untuk menggunakan daya nalar akal guna mema-hami dan mengerti maksud dan kandungan wahyu. Bahkan boleh jadi seluruh wahyu itu hanya mungkin berfungsi bagi kehidupan manusia jika manusia menggunakan akal secara terorganisir dan sistematis, atau dalam bahasa yang dapat dikembangkan dari Imam al-Ghazali serta filsuf muslim klasik-sadar-diri.
Berdasarkan pertimbangan di atas pastilah Al-Qur’an  menyarankan suatu logika sendiri. Dalam hubungan ini adalah hal yang mungkin jika logika Yunani justru bersesuaian dengan logika wahyu dalam arti Al-Qur’an sebagaimana disarankan oleh panda-ngan Ibnu Thufail, al-Razi dan Ibn Rusyd serta beberapa lainnya. Hal ini lebih berarti jika ternyata hampir tidak ada filsuf Muslim atau bahkan ilmu pengetahuan keislaman yang bebas dari logika Yunani.
Posisi pemikiran Islam serta terutama hasilnya sebagai kegiatan dan karya ilmiah lebih diperkuat ketika seluruh pemikiran Islam dikembangkan dan dibangun di atas ilmu tata pikir yang dalam dunia Islam dikenal dengan ”ilmu manthiq”. Manthiq, tidak lain hanyalah alih bahasa dari logika-nya Aristoteles yang kemu-dian disebarluaskan dalam dunia pemikiran Islam oleh al-Farabi.
3.      Cara Kerja dan Ruang Lingkup Akal dalam Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah kitab terakhir yang Allah turunkan bagi semua manusia. Setiap orang yang hidup di bumi wajib mempela-jari Al-Qur’an dan melaksanakan perintah-perintahnya. Akan tetapi, kebanyakan manusia tidak mempelajari ataupun melaksanakan apa yang Allah perintahkan dalam Al-Qur’an  kendatipun mereka menerimanya sebagai sebuah kitab yang diwahyukan. Ini adalah akibat dari belum memikirkan tentang Al-Qur’an tetapi sekedar mengetahui dari informasi yang didapat dari sana sini. Sebaliknya, bagi orang yang berpikir, Al-Qur’an memiliki kedudukan dan peranan yang sangat besar dalam kehidupannya.
Pertama-tama, orang yang ”berpikir” ingin mengetahui tentang Pencipta yang telah menciptakan dirinya dan jagad raya di mana ia tinggal dari ketiadaan, yang telah memberinya kehidupan ketika dirinya belum terwujud, dan yang telah menganugrahkan ke-padanya nikmat dan keindahan  yang tak terhitung jumlahnya; dan ia pun mempelajari tentang bentuk-bentuk perbuatan yang diridhai Allah. Al-Qur’an  yang telah Allah wahyukan kepada Rasul-Nya, adalah petunjuk yang memberikan jawaban atas pertanyaan manu-sia di atas. Dengan alasan ini, manusia perlu mengetahui kitab Allah yang diturunkan untuknya sebagai petunjuk yang dengannya ia membedakan yang hak dan yang bathil, merenungkan setiap ayatnya dan melaksanakan apa yang Allah perintahkan dengan cara yang paling tepat dan diridhai.
Allah  berfirman  tentang  tujuan  diturunkannya  Al-Qur’an  
untuk manusia:
ë=»tGÏ. çoYø9tRr& y7øs9Î) Ô8t»t6ãB (#ÿr㍭/£uÏj9 ¾ÏmÏG»tƒ#uä t©.xtFuŠÏ9ur (#qä9ré& É=»t6ø9F{$#
Terjemahan:
“Ini adalah sebuah Kitab yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayat-Nya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran” (QS.38:29)
HxŸ2 ¼çm¯RÎ) ×otÏ.õs? ÇÎÍÈ `yJsù uä!$x© ¼çntŸ2sŒ ÇÎÎÈ $tBur tbrãä.õtƒ HwÎ) br& uä!$t±o ª!$# 4 uqèd ã@÷dr& 3uqø)­G9$# ã@÷dr&ur ÍotÏÿøópRùQ$# ÇÎÏÈ
Terjemahan:
”Sekali-kali tidak demikian halnya. Sesungguhnya Al-Quran itu adalah peringatan. Maka barangsiapa menghendaki, niscaya dia mengambil pelajaran daripadanya (Al-Quran). Dan mereka tidak akan mengambil pelajaran daripadanya kecuali (jika) Allah menghendakinya. Dia (Allah) adalah Tuhan yang patut (kita) bertakwa kepada-Nya dan berhak memberi ampun (QS.74:54-56)
Banyak orang membaca Al-Qur’an, namun yang penting adalah sebagaimana yang Allah nyatakan dalam ayat-Nya yakni merenungkan tiap ayat Al-Qur’an, mengambil pelajaran dari ayat tersebut dan memperbaiki perilaku seseorang sesuai dengan pelaja-ran yang terkandung di dalamnya. Orang yang membaca ayat: ”Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, se-sungguhnya sesudah kesulitas itu ada kemudahan” misalnya, akan merenungkan ayat ini. Ia paham bahwa Allah menciptakan kemudahan disamping setiap kesulitan, karena itu yang ia harus  lakukan ketika menemui sebuah kesulitan adalah percaya penuh kepada Allah dan menantikan kemudahan yang akan datang kemu-dian. Dengan janji Allah ini, ia melihat bahwa putus harapan atau menjadi panik disaat munculnya kesulitan adalah sebuah tanda dari lemahnya iman. Setelah membaca dan  merenungkan ayat di atas, perilakunya selalu sejalan dengan ayat tersebut sepanjang hidup-nya.
Dalam Al-Qur’an Allah mengisahkan beberapa pelajaran dari kehidupan para nabi dan rasul yang hidup di masa lampau agar manusia dapat melihat bagaimana perilaku, pembicaraan dan kehi-dupan manusia yang diridhai Allah, dan menjadikan mereka sebagai panutan. Allah berfirman dalam beberapa ayat-Nya bahwa manusia hendaknya memikirkan dan mengambil pelajaran dari kisah-kisah para rasul tersebut:
ôs)s9 šc%x. Îû öNÎhÅÁ|Ás% ×ouŽö9Ïã Í<rT[{ É=»t6ø9F{$# 3 $tB tb%x. $ZVƒÏtn 2uŽtIøÿム`Ås9ur tÏóÁs? Ï%©!$# tû÷üt/ Ïm÷ƒytƒ Ÿ@‹ÅÁøÿs?ur Èe@à2 &äóÓx« Yèdur ZpuH÷quur 5Qöqs)Ïj9 tbqãZÏB÷sãƒ
Terjemahan:
"Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat peng-ajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman" (QS.12:111).
Dalam Al-Qur’an , disebutkan beberapa ciri bangsa-bangsa kuno, akhlak serta bencana-bencana yang menimpa mereka adalah sebuah kesalahan yang besar untuk memahami ayat-ayat ini hanya sebagai peristiwa sejarah dengan berbagai peristiwa yang menimpa mereka. Sebab, sebagaimana di semua ayat yang lain, Allah mengi-sahkan kehidupan bangsa-bangsa di masa lampau untuk kita renungkan dan ambil pelajaran dari berbagai bencana yang menimpa bangsa-bangsa ini sebagai pedoman dalam memperbaiki  perilaku kita:
ôs)s9ur !$oYõ3n=÷dr& öNä3tã$uô©r& ö@ygsù `ÏB 9Å2£B
Terjemahan:
"Dan Sesungguhnya Telah kami binasakan orang yang serupa dengan kamu. Maka adakah orang yang mau mengambil pelajaran?" (QS.54:51).
Allah telah menurunkan Al-Qur’an untuk semua manusia sebagai petunjuk. Oleh karena itu, memikirkan setiap ayat Al-Qur’an  dan menjalani hidup sesuai Al-Qur’an  dengan mengambil pelajaran dan peringatan dari setiap ayatnya adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan keridhaan, kasih sayang dan surga Allah.
Akal memainkan peran penting dalam membatasi dan mengendalikan hawa nafsu manusia. Ia juga berperan membantu manusia agar tidak selalu memenuhi segala ajakan hawa nafsunya. Kata aql atau aqqal dalam bahasa Arab mempunyai arti ’ikatan’ dan ’pembatasan’. Dan begitulan peran yang harus diambil dalam menghadapi hawa nafsu manusia.
Peran yang dimainkan akal dalam kehidupan manusia ialah menahan dan membatasi gerak laju hawa nafsu serta mencegah sikap ekstrimis dalam memenuhi segala tuntutan hawa nafsu. Besar kesempurnan dan kekuatan akal, sebesar taufik yang dimiliki manusia dalam mengendalikan gerak hawa nafsu.
Akal dan hawa nafsu sama-sama berperan vital dalam hi-dup manusia. Hawa nafsu memotori siklus hidup manusia, sedang akal berperan sensitif dalam membatasi, mengendalikan, serta men-cegah hegemoni dan perusakan hawa nafsu atas totalitas manusia.
Tugas agama sama dengan tugas akal dalam membatasi hawa nafsu dan mengendalikan tindakan-tindakannya yang semena-mena. Visi kerja akal dan agama sangat bersesuaian. Karena agama adalah fitrah. Allah berfirman: ”.....(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus.
Fitrah, yang menguasai manusia dan sepenuhnya diterima akal itu adalah agama Allah yang dijadikan-Nya sebagai petunjuk bagi manusia. Maka dari itu, agama menopang peranan akal dalam mengendalikan hawa nafsu. Di lain pihak, agama memerankan akal dalam mengendalikan hawa nafsu. Sesungguhnya, akal dan agama adalah dua sisi dari satu mata uang.

B.     Keutamaan Ilmu Pengetahuan dalam Al Qur’an
Dan diantara ayat-ayat (tanda-tanda kekuasaan)-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan makhluk-makhluk yang melata yang Dia sebarkan pada keduanya. Dia Maha Kuasa mengumpulkan semuanya apabila dikehendaki-Nya” (QS. Asy Syuura (42) : 29)
Seperti telah kita ketahui bersama, Al Quran merupakan salah satu mujizat yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW untuk digunakan sebagai petunjuk bagi umat manusia hingga akhir zaman. Sebagai petunjuk dari Allah tentulah isi dari Al Quran tidak akan menyimpang dari Sunatullah (hukum alam) sebab alam merupakan hasil perbuatan Allah sedangkan Al Quran adalah merupakan hasil perkataan Allah. Karena Allah bersifat Maha segala-galanya maka tidaklah mungkin perkataan Allah tidak sejalan dengan perbuatan-Nya
Apabila pada suatu malam yang cerah kita memandang ke langit maka akan tampaklah oleh kita bintang-bintang yang sangat banyak jumlahnya. Pada zaman dahulu orang memandang bintang-bintang itu hanyalah sebagai sesuatu yang sangat kecil dan bercahaya yang bertaburan di angkasa. Namun setelah ditemukannya teleskop dan ilmu pengetahuan juga semakin berkembang, orang akhirnya mengetahui bahwa bintang-bintang merupakan bagian dari suatu gugusan yang dinamakan galaksi yang dialam ini jumlahnya lebih dari 100 milyar. Sedangkan masing-masing bintang ini terdiri dari planet-planet yang masingmasing peredarannya diatur sedemikian rupa sehingga tidak saling bertabrakan satu sama lain. Hal ini juga difirmankan oleh Allah SWT :
”Dan Dialah yang telah menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan. Masing-masing dari keduanya itu beredar dalam garis edarnya” (QS. Al Anbiyaa (21) : 33)
Sehingga akhirnya orang berdasar ilmu pengetahuan yang dimilikinya mengakui bahwa alam semesta ini maha luas. Sebenarnya Allah telah menegaskan hal ini di dalam Al Quran yang diturunkan jauh sebelum ditemukannya teleskop yaitu :
”Dan langit itu Kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan sesungguhnya Kami benar-benar meluaskannya” (QS Adz Dzaariyaat (51) : 47) Oleh karena itu Allah menyuruh umatnya untuk selalu memperhatikan dan meyakini Al Quran secara ilmiah. Hal ini dijelaskan pula oleh Allah di dalam surat An Nisaa ayat 82 yang artinya :
 ”Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ? Kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya” (QS An Nisaa (4) : 82)
Sebab kita memang harus mengakui bahwa ilmu pengetahuan itu bersumber pada Allah. Sebagai contoh, di dalam ilmu fisika kita mengenal adanya hukum kesetaraan masa dan energi, sedangkan massa adalah merupakan besaran pokok dalam arti besaran yang ada dengan sendirinya, sedangkan massa tidak dapat menciptakan dirinya sendiri, lalu siapakah penciptanya ? Maka kalau kita kembalikan kepada Ajaran Tauhid tentu kita akan menjawab bahwa Allah-lah penciptanya.
Allah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa
Di dalam surat Qaaf ayat 38 Allah telah berfirman :
”Dan sesungguhnya telah Kami ciptakan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya dalam enam masa, dan Kami tidak sedikitpun ditimpa keletihan” (QS. Qaaf (50) : 38)
Karena ilmu pengetahuan itu bersumber pada Allah SWT dan pada ayat diatas telah disebutkan bahwa Allah menciptakan langit dan bumi berikut segala isinya dalam enam masa, maka berdasarkan penelitian/teori dalam sejarah asal mula alam semesta dan kehidupan dapat dikategorikan keenam masa itu sebagai berikut :
Ø  Masa pertama : Pada awalnya keadaan langit dan bumi dalam suatu kesatuan yang padu, hal ini disebutkan oleh Allah dalam salah satu firman-Nya yaitu : ”Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemuadian Kami pisahkan antara keduanya ..........” (QS Al Anbiyaa (21) : 30)
Kemudian menurut ”The Big Bang Theory” atau teori ekspansi ledakan maka terjadi ledakan yang maha hebat yang akhirnya memisahkan kesatuan yang padu tersebut. Karena kondisi sekeliling ledakan semula dalam keadaan dingin maka hal ini mengakibatkan tejadinya kondensasi (penggumpalan). Penggumpalan ini sebagai akibat dari penurunan energi (panas/kalor) yang sangat drastis. Sebab menurut hukum Steffan Boltzman tentang radiasi/pancaran panas disebutkan bahwa ”Jumlah energi radiasi tiap satuan waktu tiap satuan luas sebanding dengan pangkat empat suhu mutlaknya”. Oleh karena itu apabila terjadi penurunan suhu sedikit saja maka penurunan energinya dalam hal ini adalah energi radiasi kalor pasti menjadi sangat besar. Misal pada penurunan suhu sebesar 2 maka penurunan energinya menjadi 24 = 16 satuan energi. Dengan demikian maka kondensasi ini dapat dikategorikan sebagai masa yang kedua dimana antara langit dan unsur-unsurnya telah terpisah.2
Ø  Masa kedua : Pada masa ini gravitasi mulai berperan dan mulai muncul galaksi-galaksi yang terdir atas bintang-bintang. Juga mulai muncul planetplanet termasuk planet bumi yang terdapat dalam tatasurya matahari yang merupakan bagian dari galaksi Bima Sakti.
Ø  Masa ketiga : Masa ini dikenal juga dengan masa Prekambrium (Precambrian Era). Pada masa ini kondisi bumi masih cukup panas sehingga belum ada makhluk yang hidup di bumi.
Ø  Masa keempat : Masa ini sering dikenal dengan zaman Paleozoikum (Paleozoic Era). Pada masa ini di bumi mulai terdapat kehidupan sederhana yang ditandai dengan munculnya tumbuhan-tumbuhan tingkat rendah atau tumbuhan perintis hingga munculnya hewan-hewan sejenis serangga dan hewan-hewan amphibia.
Ø  Masa Kelima : Masa ini dikenal pula dengan zaman Mesozoikum (Mesozoic Era). Pada masa ini hewan-hewan sejenis reptil mulai muncul seperti burung dan sejenisnya dan muncul pula hewan-hewan raksasa seperti Dinosaurus dan sebagainya.
Ø  Masa Keenam : Masa ini juga disebut zaman Cenozoikum (Cenozoic Era). Pada masa inilah mulai muncul hewan-hewan mamalia dan pada akhir dari masa ini mulailah muncul sejarah manusia Dengan demikian jelas bahwa berdasar penelitian yang dilakukan oleh para ahli, kejadian alam semesta ini dapat dikategorikan dalam enam masa, dimana dua masa yang pertama adalah masa penciptaan bumi sedangkan 4 masa berikutnya merupakan tahapan kejadian makhluk-makhluk bumi hingga terciptanyamanusia sebagai khalifah di muka bumi. Hal ini sesuai dengan firman Allah di dalam Al Quran yaitu :
”Katakanlah : Sesungguhnya patutkah kamu kafir kepada Yang menciptakan bumi dalam dua masa dan kamu adakan sekutu-sekutu bagi-Nya ? (Yang bersifat) demikian itulah Tuhan semesta alam. Dan Dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh diatasnya. Dan memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya dalam empat masa. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertaqwa.” (QS. Fushshilat (41) : 9-10)

C.    Belajar dan Mengajar Dalam Al-Qur’an
Ø  Al-Qur’an memerintahkan belajar dengan membaca
Al-qur’an memerintahkan kepada umat islam untuk belajar, sejak ayat pertama kali diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, yaitu surat al-‘Alaq ayat 1-5.
Membaca adalah sarana untuk belajar dan kunci ilmu pengetahuan, baik secara etimologis berupa membaca huruf-huruf yang tertulis dalam buku-buku, maupun terminologis, yakni membaca dalam arti yang lebih luas. Maksudnya membaca alam semesta (ayatul kaun).
Dalam surat al-Qalam, Allah SWT bersumpah dengan kata yang amat penting, yaitu kalam. Dengannya, ilmu dapat ditransfer dari individu ke individu, dari generasi ke generasi, atau dari umat ke umat yang lain.
Ø  Metode belajar langsung (Lisan)
Salah satu cara belajar adalah menghadap kepada guru dengan jalan mendengarkan dan menirukan serta hadir di majelisnya. Para salafus saleh mensyaratkan dalam mencari ilmu hendaklah mendatangi para ulama’ dan hadir dalam majelis-majelis ilmu. Tidak cukup hanya dengan membaca buku-buku tanpa menghadap secara langsung. Karena apabila ada kesalahpahaman , merekalah yang akan menerangkan dan meluruskannya. Oleh karena itu, ada sebuah nasihat yang terkenal dari para ulama’ kepada murid-muridnya, “Janganlah kalian mengambil ilmu pengetahuan dari tulisan saya dan jangan membaca Al-qur’an dari mushaf saya.
Ø  Berdo’a untuk menambah ilmu
Salah satu etika dalam mencari ilmu seperti yang telah diterangkan dalam al-qur’an adalah tidak boleh puas setelah sampai pada batas tertentu jenjang ilmu pengetahuan. Karena ilmu pengetahuan ibarat lautan yang tidak bertepi dan tidak pula berbatas, sejauh manapun manusia meraih ilmu pengetahuan, ia harus terus menambahnya dan ia tidak akan munkin sampai pada batas kepuasan.
a.      Rihlah (Bepergian) Menuntut Ilmu
Salah satu etika mencari ilmu pengetahuan dalam Al-Qur’an adalah bahwa ilmu harus dicari dari sumbernya yang asli. Ia harus didatangi walaupun jauh tempatnya dan susah ditempuh.Dalam Al-Qur’an telah dikisahkan tentang seseorang yang bersusah payah menempuh jarak yang sangat jauh hanya untuk menemui orang lain yang memiliki ilmu yang tidak dimilikinya, dia adalah Nabi Musa as.
Nabi Musa telah menempuh perjalanan yang sangat jauh tanpa kendaraan, di tengah luasnya gurun pasir. Adapun sebab kepergian Musa ini seperti yang diriwayatkan Syaikhani (Bukhari-Muslim) dari hadits ibnu Abbas dari Abu Ka’bah bahwasannya dia mendengar Rasulullah saw. Bersabda,
Sesungguhnya Musa pada suatu hari berkhotbah dihadapan Bani Israel, tiba-tiba dilontarkan sebuah pertanyaan, siapakah manusia yang terpandai? Musa menjawab,’saya!’ Allah SWT menegur Musa karena perkataannya itu, sebab ia tidak menisbatkan ilmu kepada Allah SWT. Dan Allah berfirman kepadanya,’Sesungguhnya ada hamba-Ku di tempat pertemuan dua samudra yang lebih pandai darimu……’”
Bahkan dalam suatu ungkapan yang disebutkan “Carilah ilmu walau sampai kenegeri Cina”. Alasan mengapa disebutkan negeri cina karena pada saat itu negeri ini dikenal oleh orang-orang arab sebagai negeri terjauh yang mempunyai peradaban tinggi.
b.      Kepada Siapa Kita Belajar
Salah satu imbauan Al-Qur’an dalam dunia ilmu pengetahuan adalah manusia diwajibkan belajar kepada siapa saja yang mempunyai ilmu, dan bermafaat bagi hidupnya di dunia maupun di akhirat kelak. Sekalipun ia lebih muda umurnya dan lebih rendah derajatnya., bahkan kita bisa belajar dari binatang sekalipun. Misalnya kisah dalam Al-Qur’an tentang seseorang yang belajar kepada burung gagak.
  Adab Murid Terhadap Guru
Dari kisah Nabi Musa dan Khidir yang telah lewat, kita dapat menyimpulkan bagaimana seharusnya adab seorang murid terhadap gurunya. Seperti kita tahu bahwa Musa lebih tinggi derajatnya daripada Nabi Khidir, sebagaimana yang disebutkan dalam al-qur’an,
“Allah berfirman, ‘Hai Musa sesungguhnya aku memilih (melebihkan) kamu dari manusia yang lain (di masamu) untuk membawa risalah-Ku dan untuk berbicara langsung kepada-Ku….’” (al-A’raf: 144)
Ketika Nabi Musa a.s. pergi menimba ilmu kepada Nabi khidir. Dia benar-benar mengenakan adab dan sopan santun yang tinggi dihadapan gurunya. Kita perhatikan kata-kata yang dipakai Musa saat memohon kepada Nabi Khidir,

“…..Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar diantara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?” (al-Kahfi: 66)
Mengapa menggunakan kalimat Uridu an attabi’uka ‘Saya ingin mengikutimu’? Karena kalimat ini berkonotasi pembebanan terhadap yang dimohon. Berbeda dengan kalimat Hal attabi’uka seolah-olah ia berkata, “Izinkanlah(bolehkanlah) aku mengikutimu?” Dengan kalimat yang lunak ini tidak ada pihak yang merasa dibebani oleh yang lain.
Adab lain bagi pencari ilmu yaitu bersabar dan taat atas apa yang diperintahkan sang guru dan tidak mengingkarinya. Sesuatu yang diisyaratkan oleh Nabi Khidir a.s. kepada Musa a.s. secara jelas,
Dia (Khidir) berkata,’ jika kamu mengikuti aku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu.’’’ (al-Kahfi: 70)
c.       Sarana Mencari Ilmu
Ada tiga syarat pokok dalam mencari ilmu, sebagaimana banyak disebutkan dalam ayat al-qur’an, yaitu sebagai berikut:
1.      As-sam’u’pendengaran’, merupakan asas ilmu dan digunakan baik pada masa penurunan wahyu, penyampaiannya kepada sahabat, maupun kepada kita sekarang.
2.      Al-bashar’penglihatan’, adalah asas ilmu yang sangat dibutuhkan untuk mengamati sesuatu dan mencobanya.
3.      Al-fuad’hati’, yang ketiga ini adalah asas’aqli yang harus dimiliki pencari ilmu.
Salah satu nasihat Al-Qur’an menerangkan tentang pertanggung jawaban manusia atas karunia yang diberikan kepadanya, berupa organ-organ tubuh yang masing-masing akan menyampaikan segala apa yang pernah diperbuatnya di dunia.
Al-Qur’an juga mengecam orang-orang yang menyia-nyiakan sarana ilmu ini sebagai orang yang kufur atas ayat-ayat Allah. Al-Qur’an juga menyamakan orang-orang yang tidak menggunakan karunia Allah sebagaimana mestinya bagaikan hewan atau bahkan lebih hina darinya. Semua itu disebabkan karena dua hal, yaitu:
Pertama, karena binatang tidak dikaruniai seperangkat indera, akal, dan hak milik. Juga tidak dibekali kitab suci sebagai tuntunan dan tidak pula diturunkan kepadanya Rasul untuk menerjemahkan kekhalifahannya di muka bumi.
Kedua, karena binatang diciptakan hanya untuk memenuhi kebutuhan manusia, antara lain untuk kendaraan, angkutan atau dikembangbiakkan.
d.      Mengajar Setelah Belajar
Sebaiknya setelah seseorang mencari ilmu, ia mengajarkannya kepada yang lain. Karena zakat ilmu yang diajarkan oleh Allah adalah mengajarkannya sehingga dengan demikian akan terbentuk komunitas yang rabbani. Ada ungkapan dari ulama’ salaf ”Sesungguhnya yang bisa disebut sebagai rabbani adalah seorang yang alim yang mengamalkan ilmunya dan mengajarkannya.
1.      Allah sebaik-baik pengajar
Dialah yang mengajarkan dan memberi petunjuk kepada hamba-Nya.
2.      Semua Rasul adalah pengajar
Para rasul yang diutus Allah dengan risalah ilahiah, semuanya adalah para mualim yang ditugasi untuk menyampaikan petunjuk pada umatnya agar menempuh jalan yang lurus, serta menyelamatkan mereka dari kegelapan menuju alam yang terang.
3.      Muhammad saw. Imam para pengajar
Dari seluruh nabi dan rasul yang diturunkan sebagai mualim, Muhammad saw adalah imam mereka, yang telah dididik dan diajar oleh yang Maha mengetahui. Ada empat ayat yang menerangkan hal tersebut didalam Al-Qur’an, yaitu:  al-Baqoroh ayat 128-129, al-Baqoroh ayat 151, Ali Imran ayat 164, dan al-Jumu’ah ayat 2.
4.      Ulama’ adalah ahli waris para Nabi
Ulama’ mewarisi fungsi para nabi yang sangat penting yaitu untuk mengajari umat manusia, memberi petunjuk orang yang tersesat, menerangkan kebenaran, dan mengingatkan orang-orang yang lalai. Mereka tidak menyembunyikan sesuatu pun dari petunjuk ilahiah.
5.      Jangan malu untuk berkata”saya tidak tahu”
Salah satu tata cara yang diajarkan Al-Qur’an adalah tidak boleh malu untuk berkata “tidak tahu”, jika memang tidak tahu. Karena tidak ada istilah tua dalam belajar dan tidak ada satu makhlukpun yang sempurna mengetahui segala sesuatu, yang maha mengetahui hanya Allah semata. Bahkan ada ungkapan dari ulama’terdahulu bahwa”tidak tahu” adalah setengah dari ilmu.

D.    Mukjizat  Ilmiah Dalam Al-Qur’an
a.      Tuntutan Kaum Musyrik Akan Mukjizat dan Jawaban Al-Qur’an Terhadap Mereka
Orang musyrik seringkali menuntut untuk diturunkannya tanda-tanda kebesaran Allah yang luar biasa (mukjizat) sebagaimana mukjizat yang diberikan kepada rasul-rasul terdahulu. Namun Allah tidak memperdulikan tuntutan mereka. Hal tersebut telah dijelaskan dalam Al-Qur’an dalam beberapa surat denagan beberapa jawaban. Diantaranya dalam surat al-Isra’ Allah berfirman yang artinya:
Dan sekali-kali tidak ada yang menghalangi Kami untuk mengirimkan (kepadamu) tanda-tanda (kekuasaan Kami), melainkan karena tanda-tanda itu telah didustakan  oleh orang-orang dahulu….” (al-Isra’: 59)
Al-Qur’an menjawab mereka dengan jawaban lain. Sebenarnya dihadapan mereka ada mukjizat yang sangat jelas dan bisa mencukupi dibanding mukjizat-mukjizat lain, Mukjizat itu adalah Al-Qur’an. Jika mereka benar-benar berakal, kitab suci ini cukup bagi mereka sebagai mukjizat terbesar.. Akan tetapi sikap mereka yang membangkang, takabur, selalu menyusahkan, dan selalu dalam kebatilan menjadikan mereka berlebih-lebihan dalam menuntut mukjizat. Bahkan, seandainya permintaan mereka dipenuhi, mereka tetap tidak akan beriman.
b.      Al-Qur’an Sebagai Mukjizat Terbesar
Al-Qur’an adalah mukjizat Allah yang membuat manusia tidak kuasa untuk mendatangkan yang semisal dengannya atau bahkan sebagiannya saja.
Sifat kemukjizatan Al-Qur’an ini merupakan objek kajian yang luas, yang telah dan selalu dikaji oleh orang-orang sejak zaman dulu hingga sekarang. Bentuk-bentuknya sangat beragam, diantaranya, I’jaz bayani wa adabi (I’jas secara bahasa dan sastra). I’jaz model ini telah banyak ditulis oleh ulama’ terdahulu, diantaranya oleh Imam Abu Bakar al-Baqilani.
Ada juga bentuk I’jaz lain yang diisyaratkan oleh ulama’ terdahulu dan diperluas oleh ulama’ masa kini. Yaitu, kandungan Al-Qur’an berupa syariat-syariat, arahan-arahan, dan ajaran-ajaran yang menyatukan antara idealism dan realita, rohani dan materi, dunia dan akhirat, serta kebebasan individu dan kepentingan masyarakat.. Hal ini telah ditulis oleh Sayid Rasyid Ridha dalam bukunya yang terkenal, al Wahyu al Muhammadi.
c.       Mukjizat Ilmiah dalam Al-Qur’an
Seseorang yang mempelajari secara khusus ilmu-ilmu Al-Qur’an tidak akan ragu untuk menyatakan bahwa di dalam al-qur’an terkandung isyarat-isyarat ilmiah, bahkan juga fakta-fakta ilmiah. Diantara fakta-fakta ilmiah yang terdapat dalam al-qur’an adalah tentang air, Zat ini merupakan asal kehidupan dan semua makhluk hidup diciptakan darinya. Fakta ilmiah lainnya adalah fenomena berpasang-pasangan. Kemudian telah disebutkan dalam al-qur’an tentang fase-fase pertumbuhan janin, yang merupakan deskripsi detail yang hanya dikenal oleh sains dan kedokteran modern. Fakta ilmiah lainnya adalah firma Allah yang menjelaskan bahwa hewan dan burung-burung memiliki karakter berkelompok. Isyarat ilmiah lainnya adalah ayat yang menerangkan besarnya galaksi yang terlihat kecil oleh manusia seperti titik cahaya. Padahal bisa jadi ia lebih besar miliaran kali dari besar bumi. Al-Qur’an juga mengisyaratkan hal yang menguatkan teori yang mengasumsikan adanya makhluk hidup di alam raya selain bumi. Dan masih banyak contoh lainnya.
d.      Beberapa Ketentuan dan Peringatan
Yang mesti diingatkan dalam hal ini adalah sikap mengada-ada yang dilakukan sebagian  penulis yang tergesa-gesa dalam mengeluarkan makna dari suatu ayat yang dianggap”mukjizat ilmiah”. Padahal, makna ini merusak kandungan ayat yang sebenarnya dan terkesan dipaksakan, sesuatu yang sebenarnya tidak layak bagi Kitabullah.
Contohnya , seperti penafsiran terhadap ayat,
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhamu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya, dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak….” (an-Nisa’: 1)
Jiwa yang satu ditafsirkan dengan electron pada atom, sedang pasangan yang diciptakan baginya ditafsirkan dengan proton.
Ini merupakan pemaksaan dan kezaliman makna yang tidak ditunjukan oleh zahir atau konteks nash. Bahkan, konteks ayat tersebut sebenarnya menolak penafsiran semacam itu dengan dalil firman Allah diakhir ayat,
“….dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak….”
Kita juga tidak boleh memasukkan dan memaksakan asumsi dan hipotesis ilmiah yang masih berupa bahan perdebatan dan masih diuji diantara para pakar. Karenanya tidak pantas orang yang mengadopsi asumsi-asumsi ini berusaha memaksakan Al-Qur’an untuk menguatkan teorinya. Sebab, bias jadi asumsi dan teori mentah itu nanti terbukti tidak benar, lalu akhirnya mengkambinghitamka Al-qur’an.
e.       Yang Dituntut dari Pakar Sains Muslim
Kaum mukmin dituntut untuk merenungi ayat-ayat dalam al-qur’an. Para ilmuan yang beriman juga dituntut untuk mencerahkan orang lain lewat ilmu-ilmu dan kajian-kajian mereka. Sesungguhnya penjelasan bahwa tafsir al-qur’an sesuai dengan fakta-fakta ilmia, dengan rambu-rambu dan syarat-syarat yang telah disebutkan, bermanfaat bagi kaum mukminin dalam upaya peneguhan keimanan mereka, menghilangkan ilusi dan keraguan mereka, serta mempertebal hidayah mereka. Hal lain yang seharusnya dilakukan oleh para ilmuan lebih khusus lagi bagi mereka yang mengajar, adalah mengaajukan ilmu mereka dengan didasari dengan iman dan tanggung jawab moral terhadap lingkunganya.



DAFTAR PUSTAKA
 Qardhawi, Yusuf, 1998,  Al-Qur’an Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan , Jakarta: Gema Insani
Peursen, Van, 1998, Susunan Ilmu Pengetahuan, Sebuah Pengantar Filsafat Ilmu , Jakarta: Gramedia
Abdushshamad, Muhammad Kamil. 2004. Al-I’jazul Ilmi fil-Qur’anil-karim,terj: Mukjizat Ilmiah Dalam Al-Qur’an, Jakarta: Akbar
DepAg RI, Al Quran dan Terjemahannya




[1] Yusuf Qardhawi, Al-Qur’an Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan (Jakarta: Gema Insani, 1998) h. 19.
[2]  Van Peursen, Susunan Ilmu Pengetahuan, Sebuah Pengantar Filsafat Ilmu (Jakarta: Gramedia, 1998) h. 79.

2 komentar:

  1. Al Quran adalah kitab tersuci bagiq...
    http://www.pasukanhore.com
    http://www.lusihan.com

    BalasHapus
  2. Al Quran adalah pedoman hidup-q
    7 passenger SUV | 7 passenger Vehicles
    http://www.7passengervehiclesworld.com

    BalasHapus