Sabtu, 28 Mei 2011

INTERELASI NILAI JAWA DAN ISLAM DALAM ASPEK SOSIAL

I.PENDAHULUAN
Islam dan jawa adalah dua entitas yang berbeda. namun dalam kenyataannya, keduanya dapat hidup lam ketanah jawa itu sendiri terbukti tidak menimbulkan berbagai ketegangan ketegangan (tention)yang cukup berarti. bahkan lebih dari itu, keduanya saling terbuka untuk berinteraksi dan berinterelasi pada tataran nilai baik sosial dan budaya. pertemuan itu juga menimbulkan sintesa yang harmonis dan kemudian menjadi prototipe dari islam gaya jawa yang oleh Gretz disebut sebagai Relegion of Java dengan ragamnya yang dapat di bedakan menjadi tiga yaitu santri, abangan, dan priyayi.

II.RUMUSAN MASALAH
A. Pengertian sosial
B. Nilai sosial jawa
C. Nilai sosial islam
D. Interelasi islam dan jawa

III.PEMBAHASAN

A.Pengertian Sosial
Dalam kamus besar bahasa Indonesia kata sosial berarti yang berkenaan dengan masyarakat. Itu berarti setiap masyarakat mempunyai nilai-nilai sosial yang mengatur tata di dalam masyarakat tersebut. Termasuk di dalam nilai-nilai sosial ini tata susila serta adat kebiasaan. Nilai-nilai sosial ini merupakan ukuran-ukuran didalam menilai tindakan dalam hubunganya dengan orang lain. Dengan nilai sosial ini orang yang satu dapat memperhitungkan apa yang akan dilakukan oleh orang lain. Jika ada pertemuan atas anggota-anggota masyarakat yang berbeda nilai-nilai sossialnya, maka kerap kali mereka tidak dapat saling memperhitungkan tindakan-tindakan yang akan dilakukan oleh pihak lain. Keadaan–keadaan yang seperti inilah yang kerap menimbulkan ketakutan dan kecemasan .demikian juga jika ada keragaman penilaian di dalam suatu masyarakat yang sama akibatnya akan sama, yaitu orang yang satu akan mencurigai orang yang lain.
Seperti telah diutarakan diatas, maka tujuan nilai-nilai sosial ialah untuk mengadakan tata atau ketertiban. Tata ini hanya mungkin jika nilai-nilai sosial mempunyai wadah untuk menegakkannya, karena tanpa wadah yang jelas maka nilai-nilai sosial ini tidak mempunyai daya pengatur. Wadah yang kami maksud disini adalah struktur atau susunan masyarakat. Seperti halnya susunan kepangakatan dalam dunia sipil maupun militer. Maka struktur masyarakat mempunyai tugas untuk menegakkan disiplin. Di dalam struktur masyarakat inilah di tegaskan perbedaan antara wewenang, pengaruh, dan kekuasaan suatu lapisan masyarakat. Hal ini disebabkan, karena penggolongan masyarakat sebenarnya tidak lain dari pembagian masyarakat di dalam pelbagai lapisan menurut pengaruh dari kekuasaan golongan itu. Jadi struktur masyarakat mencerminkan perbedaan antara kekuasaan dan pengaruh dari warga masyarakat yang bersangkutan. Siapa yang menduduki tempat yang tinggi di dalam struktur masyarakat itu, dia pula yang mempunyai kekuasaan dan pengaruh yang besar. Di samping itu kekuasaan dan pengaruh berbeda dari zaman yang satu ke zaman yang lain. Pada masa masyarakat terdiri atas kasta-kasta, maka kuran kekuasaan dan pengaruh di ukur dan di tentukan oleh pemilikan tanah dan tenaga manusia, baru setelah kekuasaan dan pengaruh lebih kokoh, diadakan ukuran baru, yaitu keturunan. Jika kebetulan ada anggota kasta rendah yang kemudian berkuasa, maka dicarilah alasan untuk membenarkan kedudukan yang baru ini.
Di dalam masyarakat modern, dimana seseorang tidak perlu saling mengenal, orang mempunyai kecenderungan menilai seseorang dari yang nampak, khususnya dalam bidang materi. Di dalam masyarakat tradisional dimana orang saling mengenal dan saling tergantung, maka orang cnderung menilai seseorang dari sifat-sifat yang sangat subyektif, karena dikaitkan kepada subyek, di dalam struktur masyarakat modern dikaitkan pada obyeknya. Dengan demikian jelas bahwa di dalam masyarakat modern ukuran pengaruh dan kekuasaan sangat labil, karna dihubungkan dengan uang dan kekayaan yang keadaanya cepat berubah, dengan demikian antara struktur masyarakat dan penilaian sosial terlihat adanya hubungan yang sangat erat. Nilai-nilai masyarakat tradisional berkisar sekitar subyek-subyek tertentu atau orang-orang tertentu. Sebaliknya di dalam masyarakat modern, nilai-nilai ini sangat berkisar sekitar obyek-obyek tertentu.
Jika kita tinjau struktur masyarakat tradisional dan kita hubungkan dengan nilai-nilai sosial yang ada, maka kita akan lihat hubungan ini. Di dalam masyarakat jawa kuna yang tradisional, raja merupakan tali pengikat yang mempunyai kekuasaan yang tertinggi. Demikian pula nilai-nilai sosialnya, selalu dititik beratkan dan mengatur hubungan antara atasan terhadap bawahan, seperti terlihat juga pada pepatah-pepatah jawa mengenai orang yang mengalah luhur akhir dan sebagainya.
B. Nilai Sosial Jawa
Sikap hidup orang Jawa yang etis dan taat pada adat istiadat warisan nenek moyang serta selalu mengutamakan kepentingan umum atau masyarakat ketimbang kepentingan pribadi, secara jelas tergambar dalam pedoman-pedoman hidupnya, seperti aja dumeh dan anjuran untuk menghindari aji mumpung. Aja dumeh adalah suatu peringatan agar seorang selalu ingat kepada sesamanya. Aji mumpung adalah suatu pedoman mengendalikan diri dari sifat-sifat serakah dan angkara murka apabila seseorang diberi anugerah kesempatan untuk hidup di “atas”. Orang Jawa percaya bahwa hidup manusia di dunia ini telah diatur oleh-Nya sedemikian rupa, sehingga putaran hidup manusia itu seperti halnya ”roda kereta” yang berputar pada alasnya.
Kehidupan Jawa di penuhi dengan mitos dan bersifat religius, serta masih kuatnya kepercayaan terhadap magis, yang berpengaruh terhadap sistem filsafat hidup orang Jawa. Orang Jawa yakin dengan kekuatan magis yang berada di luar kekuasaan hidupnya. Dan sangat menghormati kepada hal-hal yang bersifat religius. Rasa keyakinan dan rasa hormat mengakibatkan banyaknya simbol-simbol yang dipakai dalam kehidupan masyarakat Jawa, baik dalam penyebutan hal-hal, benda-benda ataupun nama-nama.
Bentuk hubungan sosial orang Jawa lebih kurangnya merupakan refleksi dari konsepsi manusia dan lingkungannya, terutama konsepsi mereka tentang lingkungan yang mempengaruhi bentuk-bentuk hubungan sosial. Ini terjadi karena lingkungan dan persepsi mereka terhadap lingkungan, lebih langsung berhadapan dengan realitas kehidupan sehari-hari. Dominannya pola-pola yang menekankan keselarasan atau harmoni, keinginan untuk menjauhkan konflik terbuka merupakan refleksi langsung dari konsep keteraturan lingkungan yang terkoordinasikan. Suatu obsesi yang terus menerus menghantui orang Jawa.
Dapatlah disebutkan bahwa pada dasarnya, bentuk hubungan sosial yang menekankan pada keselarasan ini merupakan gejala umm yang berkembang, baik dikalangan petani wong cilik maupun dikalangan priyayi. Meskipun demikian ada perbedaan bentuk hubungan sosial diantara sesama antara keduanya. Setidak-tidaknya, perbedaan tersebut terlihat dengan nyata pada kedalaman pemikiran etika pergaulan antara dua golongan itu. Berikut akan diuraikan bentuk-bentuk hubungan sosial kedua golongan di atas.
a.Petani atau wong cilik
Sebagaimana diketahui satuan dasar sosial politik petani, wong cilik atau lebih tepatnya masyarakat desa Jawa, adalah desa (dukuh) yang terdiri dari sekelompok rumah. Desa merupakan masyarakat kecil dengan hubungan antar sesama yang tertutup dan kerap kali terpencil, yang berkeinginan mempertahankan keserasian internal dan kerja sama yang baik. Sistem sosialnya dilengkapi dengan seperangkat kewajiban yang diformalkan untuk dibebankan kepada setiap petani kepada para kerabat-kerabatnya, rekan-rekannya, dan pada masyarakat . Kewajiban ini diambil sbagai suatu keseluruhan, membina suatu sistem timbal balik yang kukuh dan berurat akar. Kondisi hubungan ini dilukiskan sebagai tulung-tinulung atau sambat-sambat (tolong-menolong). Ikatan-ikatan praktik ini kemudian dieratkan oleh beberapa nilai moral utama desa Jawa, khususnya gotong-royong, pada-pada (sama-sama, sama rata), dan tepa slira (tenggang rasa). Akibat sistem nilai maupun karena faktor keadaan dasar kehidupan desa, maka kaum petani Jawa dapat cepat menerima hubungan-hubungan pribadi yang lancar untuk diterima sebagai anggota masyarakat yang baik.
Mengapa bentuk hubungan sosial seperti itu bisa terjadi? alasan yang empiris adalah tentu saja akan menjelaskan perwujudan itu sebagai proses sosiologis. Sebelum masehi, proses pembentukan desa-desa Jawa dalam pengertian hidup menetap mulai terbentuk. Proses pemukiman ini kemudian diikuti oleh proses homogenisasi tradisi dan budaya dikalangan mereka, bersamaan dengan proses tersebut, timbul kebutuhan untuk kerja sama diantara mereka, oleh sebagian kerja yang tidak dapat dilaksanakan sendiri.
Kemudian berkembanglah prinsip-prinsip hubungan sosial yang sebagian besar yang terdiri dari dua bagian besar yaitu prinsip kerukunan dan prinsip hormat.
Prinsip rukun bertujuan untuk mempertahankan masyarakat dalam keadaan yang harmonis. Kefasihan dengan menggunakan sikap hormat yang tepat, pada orang Jawa dikembangkan sejak kecil melalui pendidikan dalam keluarga. Sikap hormat dan sikap yang berhubungan dengannya, berkembang paling jelas dalam kalangan ini, dimana kehidupan sehari-hari dipengaruhi oleh struktur hirarkis, terutama ketika berhadapan dengan kaum priyayi yang secara tradisional berpedoman ke keraton. Sedangkan dalam struktur mereka sendiri (desa) dengan struktur yang egaliter, sikap itu tidak memainkan peran yang cukup besar. Sebab pada dasarnya, kehidupan desa menjunjung tinggi persamaan, baik petani miskin maupun petani kaya dengan bangga menyatakan bahwa dalam kehidupan desa setiap orang tanpa kecuali mendapat kedudukan dan kehormatan yang sama.
b.Priyayi
Pola hubungan priyayi tidak begitu jauh dengan para petani atau wong cilik. Letak perbedaan itu justru terletak pada kedalaman filsafat dari setiap unsur dan parlemen yang menopang sistem hubungan sosial.
Dasar-dasar pandangan dunia priyayi yang menjadi pengukur metafisik dan batas yang kemudian yang diringkas menjadi sepasang konsep yang netral, alus dan kasar. Dengan demikian apa yang memegang peranan besar dalam hubungan sosial priyayi adalah etiket. Etiket priyayi dengan serangkaian cara formal dalam mengerjakan segala sesuatu, yang menyembunyikan perasaan sebenarnya dari orang lain.


C.Nilai Sosial Islam
Dalam konteks pemikiran sosiologi, Islam itu diturunkan oleh Allah SWT dalam konteks zamannya, dan yang ada pada waktu itu sejalan dengan itu maka ia harus dipahami dalam konteks yang tepat-teks Al- Qur’an dan Hadits perlu dilihat dengan konteks latar belakang perjuangan Nabi SAW. Sebagaimana aktivitas dan perjuangan di tengah-tengah adat-istiadat, pranata dan pandangan hidup orang-orang arab pada waktu itu, dan perlu dilihat bagaimana kehidupan ekonomi, hubungan politik, khususnya karakter-karakter Quraisy.
Di dalam al-Qur’an nilai sosial Islam diterangkan salah satunya didalam surat al-Hujuraat ayat 10-11, yang berbunyi:

       •                                               
Artinya: “sesungguhnya orang-orang mu’min itu bersaudara, oleh karena itu damaikanlah antara kedua sadaramu (yang berselisih) dan bertaqwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat. Wahai orang-orang yang beriman! Jangnlah atu kaum mengolok-ngolok kaum lain karena boleh jadi (mereka yang di olok-olok) lebih baik dari mereka (yang megolok-olok), dan janganlah pula perempua-perempuan (mengolok-olok) perempuan lain, karena boleh jadi perempuan (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengilok-olok), janganlah kamu saling mencela satu sama lain, dan janganlah memanggil dengan nama yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah panggilan yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barang siapa tidak bertobat mereka itulah orang-orang yang zalim”.
Dalam surat al-Hujuraat ayat 10-11 di atas sudah jelas bahwa nilai sosial dalam islam sangat tinggi bahkan islam melarang keras untuk mencela kaum lain, Islam juga tidak memandang seseorang dari jabatan apa lagi mengenal kasta, disini semua dimata Allah sama yang membedakan hanyalah takwa mereka. Islam menganjurkan agar umatnya saling menghargai dan menghormati baik kepada yang tua maupun yang lebih muda.

D.Interalasi Nilai Jawa dan Islam
1.Etika jawa dalam Islam
Mungkin mengejutkan karena hampir semua orang jawa adalah islam doktrin islam jarang disebut-sebut dalam diskusi etika. Lemahnya minat ini dapat di hubungkan dengan fakta bahwa banyak non-santri, entah itu bekecendrung mistik atau tidak, tidak menerima Qur’an sebagai panduan tingkah laku tinggi, dan banyak yang menolak wahyu samawi dengan moralitas transenden ini. Tetapi ada beberapa keberatan khusus yang membuat islam legalistik tidak sesuai dengan etika jawa.
(1)Skema dasar etika islam kategori wajib, sunnah, boleh, makruh , haram (Levy 1969: 202-3) bertentangan dengan cara isu moral dibingkai dalam pemikiran jawa. Bagi orang jawa, kewajiban berasal dari luar dan karena itu dianggap lebih rendah ketimbang tindakan yang dimotivasi secara batin. Apa yang berasal dari diri sendiri dan diberikan secara bebas adalah lebih baik ketimbang yang dilakukan karena perintah. Karenanya, keputusan untuk mengadakan slametan, melakukan kebaikan, atau ikut dalam organisasi agama harus datang dari dalam. Kewajiban islam seperti shalat harian dan puasa kehilangan kekuatan moralnya. Bagi orang jawa , literalisme yang denganya kewajiban ritual, seperti puasa, dilakukan menurunkan nilainya dan mengaburkan signifikansinya. Dalam usaha untuk melunakkan nafsu seseorang tidak selalu perlu melaparkan diri, seseorang dapat membuat penyesuaian moral dengan sedikit diet atau tanpa diet sama sekali. Memang seperti di katakan pak T, jika da buah mangga masak di pohon seseorang merasa “ wajib memakannya” ( wajib mangan ). Demikian juga, haji ke Mekkah dianggap sebah gangguan dari perjalanan batin yang dilakukan oleh “ orang beriman sejati “.
(2)Islam sepanjang yang kita kenal dan kejawen hampir tidak overlap dalam persoalan etikanya. Orang-orang jawa tidak menggap kepatuhan terhadap ajaran Islam sebagai persoalan moral, apalagi moral utama, karena kewajiban ritual tidak melibatkan hubungan antar orang (kecuali zakat) atau jenis-jenis koreksi diri yang telah di bahas di atas. Konsekuensinya, beberapa sekte Jawa mengembangkan ritual paralel berasarkan model Islam, seperti salat sejati, yang menekankan aspek moral dan kontemplatif dari ketaatan atas liturgi. Cabang kontemplatif serupa yang ada di dalam aliran utama ortodoks Islam (selain tasawuf) sepanjang yang dapat saya katakan hanya dikenal oleh segelintir penduduk desa yang mempelajari Islam ditingkat yang lebih tinggi (di IAIN). Demikian juga literatur hadits, yang mengkonfirmasikan banyak norma-norma perilaku sosial Jawa, tidak dikenal baik oleh para penduduk.
(3)Nada keras dari diskursus moral Islam (khususnya dalam khotbah dan kuliah shubuh) dirasakan opresif dan kurang ajar oleh para non santri. Bahkan muslim taat sekalipun merasa tidak nyaman terhadap kritik tersebut dan menjauhkan diri mereka dari khotbah tentang api neraka dan pernyataan “kafir”.
(4)Kejawen tidak banyak mengandung ide ortodoks (meskipun beberapa sekte meminjam ide itu dari Islam). Dorongan ke arah konformitas melalui repetisi, khotbah dan ibadah berjamaah dalam islam bertentangan dengan ekletisisme dan pluralisme yang didukung oleh kebanyakan orang Jawa. Meskipun sekte-sekte yang berbeda memiliki pendekatan dan liturgi sendiri-sendiri, para angotanya biasanya bebas untuk mengikuti jalan-jalan yang lain.

IV.KESIMPULAN Sosial merupakan sesuatu yang berkenaan dengan masyarakat. Dalam nilai sosial Jawa, hubungan sosial kurang lebihnya merupakan refleksi dan konsepsi manusia dan lingkungannya, terutama konsepsi mereka tentang lingkungan yang mempengaruhi bentuk-bentuk hubungan sosial. Dan di dalam nilai sosial Islam hubungan manusia sangat diperhatikan, karena dalam Islam diterapkan agar sesama manusia untuk saling menghormati dan tidak saling mencela dan saling menghargai bagaimanapun kedudukan atau jabatan orang itu. Karena yang membedakan adalah taqwanya. Etika Jawa dan Islam dalam interelasidi dalam buku Andrew Reatty menjelaskan bahwa banyak non santri di Jawa itu tidak menerima al-Qur’an sebagai etika tertinggi, entah itu kecenderungan mistik atau tidak.

V.PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat kami sampaikan, semoga makalah ini dapat memberikan tambahan wacana kepada kita semua tentang interelasi nilai Jawa dan Islam dalam aspek sosial. Saran dan kritik yang membangun sangat kami harapkan untuk perbaikan makalah kedepan.


DAFTAR PUSTAKA
Al-qur’an. 2000. Bandung : PT. Syamil Cipta Media
Amin, Darori. 2000. Islam dan Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: Gama Media
Beatty, Andrew. 2001. Variasi Ajaran di Jawa Suatu Pendekatan Antropologi, Jakarta: Grafindo Persada
Depdiknas. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Muchtarom, Zaini. 2002. Islam di Jawa dalam Perspektif Santri dan Abangan. Jakarta:Salemba Diniyah
Setiawan, Ahmad. 1998. Perilaku Birokrasi dalam Pengaruh Paham Kekuasaan Jawa. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
http://www.akhlakislam.com/religion/interelasi-nilai-jawa-dan-islam-dalam-perspektif-sosial.htm

0 komentar:

Posting Komentar