Sabtu, 28 Mei 2011

TAQLID DALAM MADZHAB

I.PENDAHULUAN
Ketika sudah terbentuk madzhab-madzhab pada periode sebelumnya, dan setiap madzhab mempunyai pengikut-pengikut yang bertaqlid kepadanya.
Hal ini berakibat merosot/menurunnya keadaan ijtihad secara mutlak, dan orang-orang yang gemar ilmu fiqih menempatkan diri pada madzhab-madzhab ini saja, bahkan mereka mengajak orang lain untuk menggabungkan diri dengan madzhabnya. Maka mereka karanglah tentang riwayat para imam dan mengeluarkan fatwa yang berisi larangan terhadap seseorang untuk berpindah dari satu madzhab ke madzhab yang lain. Zaman ini dimulai dari abad yang keempat Hijriah dan terus berlarut-larut berabad-abad lamanya.

II.PEMBAHASAN
A.Pengertian dan Hukum Taqlid
Taqlid adalah:
اَلْعَمَلُ بِقَوْلِ اْلغَيْرِ مِنْ غَيْرِ حُجَّةِ مُلْزِمَةٍ كَأَخْذِ اْلعَامِى بِقَوْلِ اْلعَامِى وَاَخْذُ الْمُجْتَهد مِثْلِهِ

Mengamalkan pendapat orang tanpa ada hujjah yang memastikan kita menerimanya, seperti orang awam menerima pendapat awam, dan seperti seorang mujtahid menerima pendapat orang mujtahid.

Taqlid itu ada yang haram dan haram kita memberikan fatwa berdasarkan fatwa tersebut. Namun ada yang wajib dan ada pula yang boleh kita anut.
Taqlid yang haram yang disepakati oleh seluruh ulama ada tiga, yaitu:
1.Tidak mau mempedulikan ayat Tuhan, lantaran orang tua (masyarakat)
2.Taqlid terhadap orang yang tidak kita ketahui, apakah orang itu mempunyai keahlian untuk dipegangi pendapatnya
3.Sesudah memperoleh hujjah dan dalil yang bertentangan pendapat orang tersebut.
Kata Al- Imran Ad- Dahlawi :
لاَ يَجُوْرُ ِلاَمِىٍّ اَنْ يُقَلِّدُ رَجُلاً مِنَ اْلفُقَهَاءِ بِعَيْنِهِ يَرَى اَنَّهُ يَمْتَنِعُ عَنْ مِثْلِهِ الْخَطَاءُ اَوْ اَنَّ مَا قَالَهُ الصَّوَابُ اْلبَتَّةَ وَاَضْمَرَ فىِ نَفْسِى اَنْ لاَ يُتْرَكَ تَقْلِيْدَهُ

Artinya: “Tidak boleh seorang ummi bertaqlid kepada seorang alim yang tertentu dengan anggapan bahwa orang yang seperti orang itu tak patut salah atau dengan anggapan segala yang difatwakan oleh alim tersebut benar serta enggan pula berpindah kepada pendapat orang lain, walaupun sudah ada dalil membenarkan pendapat orang lain itu.”

Taqlid yang wajib adalah taqlid terhadap pendapat yang merupakan hujjah, seperti ucapan Rasulullah SAW.
Taqlid yang dibolehkan adalah menuruti pendapat para mujtahid dalam soal-soal yang tidak kita ketahui hukum Allah dan Rasul.

B.Taqlid dalam Permasalahan Aqidah
Ibarat sebuah bangunan, aqidah adalah pondasi dari bangunan tersebut. Tegak dan kokohnya bangunan tergantung pada kuat dan lemahnya pondasi. Bila pondasi itu kuat, maka bangunan tersebut akan berdiri dengan kokoh dan kuat. Sebaliknya, bila pondasi bangunan tersebut rapuh, maka seluruh bangunan diatasnya akan sangat mudah untuk runtuh bahkan hancur. Demikian pula kehidupan seseorang, kokoh dan tegaknya kehidupan dirinya sangat tergantung dari kuat dan lemahnya aqidah yang ia miliki. Bila aqidahnya kuat dan kokoh, maka ia akan mampu mengarungi kehidupan ini dengan selamat dan kokoh. Ia tidak mudah diombang-ambingkan badai kehidupan duniawi. Ia akan tetap tegar di tengah goncangan derita dan kenestapaan. Sebaliknya, tatkala akidahnya lemah, maka ia akan sangat mudah ditimpa keluh kesah, dan ketidaksabaran. Allah telah berfirman:

Artinya: orang-orang Arab Badui itu berkata: "Kami telah beriman". Katakanlah: "Kamu belum beriman, tapi Katakanlah 'kami telah tunduk', karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."

Ayat diatas merupakan penjelasan yang sangat jelas, bahwa seseorang tidak disebut beriman, bila ia tidak menjalankan seluruh perintah Allah dengan penuh ketundukan, keyakinan, dan kepasrahan. Demikianlah seseorang baru absah disebut mukmin, tatkala ia menjalankan seluruh perintah-Nya berdasarkan keyakinan (aqidah) yang telah ia yakini kebenarannya secara pasti.
Keimanan telah memastikan bahwa yang diimani tersebut memang benar-benar keyakinan dan tidak mungkin diubah lagi. Atas dasar itu, keimanan mutlak memerlukan proses ma’rifat terhadap apa yang wajib diimani. Proses ma’rifat yang bisa menghasilkan keyakinan pasti, harus didasarkan pada proses berfikir yang benar, jernih dan mendalam.Sabda Rasulullah SAW :
قا ل العزيزى نقلا عن ابن حجر قا ل النبي صلى الله عليه وسلم الايمان معرفة بالقلب وقول با للسان وعمل بالاركان
(رواه ابن ماجه والطبرانى)
Artinya: “Iman itu adalah ma’rifat (mengetahui) dengan al-qalb (akal), diucapkan dengan lisan dan diamalkan dengan rukun-rukun tertentu.” (H.R.Ibn Majah, ath-Thabrany).

Hadits ini menjelaskan dengan sangat jelas, bahwa iman harus dimulai dengan proses ma’rifat, diucapkan dengan lisan, kemudian mengamalkan semua rukun-rukunnya. Oleh karena itu, keimanan seorang muslim harus dibangun berdasarkan proses berfikir mandiri, tidak sekedar ikut-ikutan (taqlid), atau mengikuti perasaan hati. Iman harus dibangun berdasarkan proses berfikir. Mayoritas ulama telah sepakat, bahwa taqlid dalam masalah aqidah hukumnya haram. Imam Ahmad dalam sebuah riwayat menyatakan: “Tanda kedangkalan ilmu seseorang adalah taqlid dalam masalah aqidah.”
Tidak ragu lagi, keimanan yang kokoh dan tangguh hanya bisa didapatkan dengan melakukan proses berfikir yang benar, jernih dan mendalam. Keimanan yang tangguh telah meniadakan unsur ikut-ikutan (taqlid) dalam masalah aqidah. Sebab, keimanan yang diperoleh tidak dengan proses berfikir jernih dan mendalam, atau taqlid, sangat rentan dengan kesalahan-kesalahan. Bahkan ia bisa menjatuhkan seseorang dalam kesesatan, dan tahayul. Disisi lain, kita telah memahami bahwa keimanan adalah pembenaran yang bersifat pasti, tanpa ada sedikitpun keraguan. Walhasil, aqidah yang tangguh hanya bisa diperoleh dengan proses berfikir yang jernih dan mendalam.

C.Taqlid dalam Permasalahan Syari’ah
Syari’ah merupakan hukum Islam yang berdasar al-Qur'an dan hadits. Syari’ah meliputi syari’ah ibadah dan syari’ah muamalah. Dalam syari’ah ibadah taqlid diharamkan, karena menyangkut keimanan seseorang. Dan keimanan harus dimiliki seseorang dengan berfikir mandiri, tidak sekedar ikut-ikutan.
Dalam syari’ah muamalah, taqlid diperbolehkan asal yang bermanfaat bagi kemaslahatan umat.

D.Klasifikasi Taqlid dalam Bermadzhab
Klasifikasi taqlid ada dua macam, yaitu:
1.Taqlid Buta
Taqlid buta artinya taqlid yang tidak mau menerima perubahan, andai kata sesuatu yang ditaqlidkan itu sudah jelas melanggar agama. Mereka berpendapat bahwa itulah yang benar, sedang yang lain itu salah semuanya. Taqlid yang begini dinamakan taqlid orang kafir, dan diharamkan dalam agama. Keterangan firman Allah mengatakan:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَى مَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ قَالُوا حَسْبُنَا مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لا يَعْلَمُونَ شَيْئًا وَلا يَهْتَدُونَ (المائدة: 104)

Artinya: “Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul". Mereka menjawab: "Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya". Dan apakah mereka akan mengikuti juga nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?” (Qs. Al-Maidah: 104)

Ayat ini menunjukkan:
a.Bahwa orang kafir Makkah tidak mau diajak mengikuti agama yang telah diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad SAW, yaitu ber-Tuhan kepada Allah SWT.
b.Bahwa mereka tetap bertahan menganut i’tiqad yang dibawa oleh nenek moyang mereka, yaitu menyembah berhala, sesuai dengan keterangan ayat sebelum ayat ini.
c.Bahwa bapak-bapak dan nenek-nenek moyang mereka tidak mendapat petunjuk dari Allah SWT.

2.Taqlid dengan Melihat
Yang dimaksudkan dengan taqlid dengan melihat disini atau menilik adalah bertaqlid sambil bertanya, berguru atau belajar, kalau masih bingung ini wajib hukumnya dalam agama. Allah berfirman dalam al-Qur'an surat an-Nahl: 43.
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلا رِجَالا نُوحِي إِلَيْهِمْ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ (النحل: 43)
Artinya: “Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (Qs. An-Nahl: 43)

E.Taqlid dan Amaliyah Muqallid
Ada muqallid yang menerima dan tidak mau perubahan jikalau sesuatu yang ditaqlidkan itu sudah jelas melanggar agama, mereka berpendapat bahwa itulah yang benar dan mereka itulah orang kafir.
Ada pula muqallid yang menerima dengan melihat, menilik sambil bertanya, berguru atau belajar.

III.KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa:
1.Taqlid adalah mengamalkan pendapat orang tanpa ada hujjah
2.Hukum taqlid itu ada yang haram, ada yang wajib, ada yang dibolehkan
3.Taqlid dalam permasalahan aqidah itu haram, karena keimanan seorang muslim harus dibangun berdasarkan proses berfikir mandiri, tidak sekedar ikut-ikutan (taqlid). Keimanan yang diperoleh secara taqlid sangat rentan dengan kesalahan-kesalahan. Bahkan, bisa menjatuhkan seseorang dalam kesesatan dan tahayul
4.Dalam syari’ah ibadah taqlid diharamkan dan dalam syari’ah muamalah, diperbolehkan
5.Klasifikasi taqlid ada taqlid buta dan taqlid dengan melihat
6.Amaliyah muqallid ada yang menerima dan tidak mau merubah jikalau yang ditaqlidkan itu salah dan ada muqallid yang menerima dengan melihat, yaitu bertaqlid sambil bertanya, berguru atau belajar.

IV.PENUTUP
Demikian pembahasan makalah yang kami susun, semoga dapat bermanfaat bagi pembaca dan pemakalah sendiri. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan dalam pembuatan makalah yang lebih baik selanjutnya.


DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Idris, Dasar Pokok Hukum Islam dan Aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah, Jakarta: Pustaka Azam, 1969.
Al-Hikam oleh Al-Amidi 4.
Ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi, Pengantar Hukum Islam, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2001.
http://www.khabarislam.com/aqidah-landasan-kehidupan-muslim.html.

0 komentar:

Posting Komentar