Rabu, 15 Juni 2011

Pencemaran Lingkungan (Hujan Asam) : Problematika Ilmu Pengetahuan dalam Filsafat



I.            PENDAHULUAN
Manusia merupakan satu-satunya mahluk yang mampu mengembangkan pengetahuan mereka dengan sungguh-sungguh, lain halnya dengan hewan yang juga mempunyai pengetahuan tetapi pengetahuan yang mereka miliki sangatlah terbatas. Semisal seekor monyet mengetahui mana buah yang enak dan buah yang tidak enak tanpa mengetahui apa buah tersebut, bagaimana buah tersebut bisa ada serta berasal darimana buah tersebut?
Berbeda dengan manusia, dimana dalam diri manusia terdapat cipta, karsa, dan pikiran. Dimana dengan itu manusia dapat mengembangkan ilmu pengetahuannya dalam mengatasi kelangsungan kebutuhan hidupnya, sebagai contoh manusia memikirkan hal-hal baru, dimana kita hidup tidak hanya sekedar untuk kelangsungan hidup tetapi untuk lebih dari itu. Dengan kemampuan dasar pengetahuan yang dimilki tersebut mendorong manusia menjadi mahluk yang khas di muka bumi ini.
Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi maka pemenuhan kebutuhan manusia dapat dilakukan secara lebih cepat, lebih tepat dan lebih mudah. Namun kenyataannya apakah ilmu pengetahuan selalu merupakan berkah?dimana dapat kita lihat banyak akibat yang buruk karena adanya ilmu pengetahuan tersebut.
Dengan melihat perkembangan ilmu pengetahuan tersebut kita sering melupakan faktor manusia, dimana kenyataan pada abad modern ini, manusialah yang pada akhirnya harus menyesuaikan diri pada teknologi karena teknologi sudah tidak berfungsi sebagai sarana yang dapat memberikan kemudahan bagi kehidupan manusia melainkan dia berada pada eksistensinya sendiri.


II.            RUANG LINGKUP
Dalam kehidupan sehari-hari kita tidak pernah lepas dengan adanya ilmu pengetahuan dan teknologi, dimana kegiatan manusia terus berlangsung dengan terjaminnya fasilitas-fasilitas yang mengabaikan keseimbangan dari alam yang akhirnya akan menyebabkan adanya pencemaran yang berlangsung dimana-mana dengan laju begitu cepat yang sebelumnya tidak pernah terjadi. Pencemaran akhir-akhir ini mengarah kepada dua hal yaitu: (1) kea rah pembuangan senyawa-senyawa kimia tertentu yangs semakin meningkat, (2) ke arah meningkatnya penggunaan bahan berbahaya neracun (B3) oleh berbagai kegiatan industry dengan pembuangan limbahnya ke lingkungan, akibatnya timbul maslah-masalah global antara lain: pemanasan global, hujan asam, menipisnya lapisan ozon dan sebagainya.[1]
Dalam tulisan ini akan dibahas tentang polemik pencemaran lingkungan khususnya air berdasarkan filsafatnya.

III.            PEMBAHASAN
A.    Pengertian Filsafat
Istilah filsafat dalam bahasa Indonesia memiliki padan falsafah (Arab), Philosophy (Inggris), philosophia (Latin) dan philosophie (Jerman, Belanda dan Perancis). Semua itu bersumber pada istilah Yunani philosophia, yaitu philein berartimencintai, sedangkan philos berarti teman. Selanjutnya, istilah sophos berarti bijaksana, sedangkan shopia berarti kebijaksanaan. Filsafat sebagai sebuah metode merupakan sebagai cara berfikir secara reflektif (mendalam), penyelidikan yang menggunakan alasan serta berfikir secara hati-hati dan teliti.[2]
Menurut C. Verhaak (1997) : Filsafat dapat dirumuskan secara sangat umum sebagai upaya untuk mempelajari dan mengungkapkan pengembaraaan manusia didunianya menuju akhirat secara mendasar. Filsafat dapat diberi batasan sebagai upaya dimana obyek materialnya, yakni manusia didunia yang mengembara menuju akhirat, dipelajari menurut sebab musabab pertama. Begitulah pengertian filasafat sebagai keseluruhan, yang tidak sulit bagi kita untuk membedakan bagian yang satu dengan bagian yang lainnya namun begitu tak berarti bahwa perbedaan tersebut merupakan suatu pemisahan.[3]
Menurut Jujun S. Suriasumantri (1998) : Karakter berpikir filsafat yang Pertama adalah: sifat menyeluruh artinya seorang ilmuwan tidak puas hanya dari segi pandang ilmu itu sendiri, tetapi pada hakekatnya dia melihat ilmu dalam konstelasi pengetahuan yang lainnya. Sebagai contoh dia ingin mengetahui bagaimana kaitan ilmu dengan moral dan kaitan ilmu dengan agama. Dan dia ingin juga meyakini apakah ilmu itu sendiri dapat memberikan kebahagian terhadap dirinya sendiri. Filsafat yang Kedua: sifat mendasar artinya dia tidak lagi percaya bahwa ilmu itu benar? lalu benar itu sendiri itu apa ?Artinya dalam pengetahuan secara menyeluruh bahwa kita tidak yakin terhadap titik awal yang menjadi jangkar pemikiran yang mendasar. Dalam hal ini kita hanya berspekulasi dan inilah ciri filsafat yang Ketiga, yakni sifatnya spekulatif . Dengan demikian pengetahuan yang sekarang dimulai dengan spekulasi, sehingga dapat membuahkan pikiran yang dapat diandalkan yang merupakan titik awal dari penjelajahan ilmu pengetahuan. Tanpa menetapkan kriteria tentang apa yang disebut benar, maka tidak mungkin pengetahuan lain berkembang diatas kebenaran. Tanpa menetapkan apa yang disebut baik atau buruk, maka kita tidak mungkin berbicara tentang moral.[4]
Ilmu pengetahuan dicirikan sebagai usaha mengumpulkan hasil pengetahuan secara teratur dan sistematis, berkat adanya refleksi. Pengungkapan hasil tersebut terjadi dalam macam  macam model, yang dapat digolongkan menjadi dua model dasar, yaitu model oposteriori dan model apriori. Model apriori sudah dirintis oleh Plato, sedangkan Aristoteles mengutarakan suatu model ilmu dimana sebagai hasil pemeriksaan oposteriori diperoleh dari suatu pengetahuan melalui sebab musabab, yang paham apriorinya menjadi ciri khas ilmu.
Ilmu pengetahuan mempunyai kekhususan dibandingkan dengan pengetahuan pada umumnya, kita bertitik pangkal pada gejala kesadaran akan pengetahuan itu sendiri secara tersirat. Apabila unsur tersirat tersebut diucapkan menjadi tersurat, maka terjadilah apa yang disebut refleksi. Berkat refleksi, pengetahuan yang semula langsung dan spontan memang kehilangan kelangsungan dan kespontanitasannya, tetapi serentak pengetahuan itu mulai cocok untuk diatur scara sistimatis sedemikian rupa sehingga isinya dapat dipertanggung jawabkan. Itulah kiranya yang terjadi dalam pembentukan ilmu pengetahuan berdasarkan pengetahuan yang ada, yang dikumpulkan lalu diatur dan disusun.[5]

B.     Kimia Lingkungan (Hujan Asam)
Most of the by Muslims dealt with the cult of alchemy. Muslim scolars rapidly discovered that the use of science by the ancients in chemistry was unknown with very few exceptions.
According to the world Book Encyclopedia the Gracian word of chemistry, chemia, describes “ the art of attending to make…gold and silver from base metals such as alchemy, wich is derived from the Arabic, Alkimiya.[6]
Hujan yang normal seharusnya adalah hujan yang tidak membawa zat pencemar dan dengan pH 5,6. Air hujan secara alamiah bersifat sedikit asam karena H2O yang ada pada air hujan bereaksi dengan CO2 di udara. Reaksi tersebut menghasilkan asam lemah H2CO3 dan terlarut di air hujan. Jenis asam dalam hujan ini sangat bermanfaat karena membantu melarutkan mineral dalam tanah yang dibutuhkan oleh tumbuhan dan dan binatang. Apabila air hujan tercemar dengan asam-asam kuat, maka pH-nya akan turun dibawah 5,6 maka akan terjadi hujan asam.
Hujan asam sebenarnya dapat mencegah global warming, gas buang seperti SO2 penyebab hujan asam mampu memantulkan sinar matahari keluar atmosfer bumi sehingga dapat mencegah kenaikan temperatur bumi. Akan tetapi, efek samping dari hujan asam menghasilkan kerusakan lingkungan yang lebih parah dibandingkan global warming. Sebenarnya “hujan asam” merupakan istilah yang kurang tepat untuk menggambarkan jatuhnya asam-asam dari atmosfer ke permukaan bumi. Istilah yang lebih tepat seharusnya adalah deposisi asam, karena pengendapan asam dari atmosfir ke permukaan bumi tidak hanya melalui air hujan tetapi juga melalui kabut, embun, salju, aerosol bahkan pengendapan langsung. Istilah deposisi asam lebih bermakna luas dari hujan asam.
Deposisi asam terjadi apabila asam sulfat, asam nitrat, atau asam klorida yang ada di atmosfer baik sebagai gas maupun cair terdeposisikan ke tanah, sungai, danau, hutan, lahan pertanian, atau bangunan melalui tetes hujan, kabut, embun, salju, atau butiran-butiran cairan (aerosol), ataupun jatuh bersama angin.
Asam-asam tersebut berasal dari prekursor hujan asam dari kegiatan manusia (anthropogenic) seperti emisi pembakaran batubara dan minyak bumi, serta emisi dari kendaraan bermotor. Kegiatan alam seperti letusan gunung berapi juga dapat menjadi salah satu penyebab deposisi asam. Reaksi pembentukan asam di atmosfer dari prekursor hujan asamnya melalui reaksi katalitis dan photokimia. Reaksi-reaksi yang terjadi cukup banyak dan kompleks, namun dapat dituliskan secara sederhana seperti dibawah ini.
Pembentukan Asam Sulfat (H2SO4)
Gas SO2, bersama dengan radikal hidroksil dan oksigen melalui reaksi photokatalitik di atmosfer, akan membentuk asamnya.
SO2 + OH  → HSO3
HSO3 +  → HO2 + SO3
SO3 + H2O  → H2SO4
Selanjutnya apabila di udara terdapat Nitrogen monoksida (NO) maka radikal hidroperoksil (HO2) yang terjadi pada salah satu reaksi di atas akan bereaksi kembali seperti:
NO + HO2 → NO2 + OH
Pada reaksi ini radikal hidroksil akan terbentuk kembali, jadi selama ada NO diudara, maka reaksi radikal hidroksil akan terbantuk kembali, jadi semakin banyak SO2, maka akan semakin banyak pula asam sulfat yang terbentuk.
Pembentukan Asan Nitrat (HNO3)
Pada siang hari, terjadi reaksi photokatalitik antara gas Nitrogen dioksida dengan radikal hidroksil.
NO2 + OH → HNO3
Sedangkan pada malam hari terjadi reaksi antara Nitrogen dioksida dengan ozon.
NO2 + O3 → NO3 + O2
NO2 + NO3 → N2O5
N2O5 + H2O → HNO3
Didaerah peternakan dan pertanian akan concong menghasilkan asam pada tanahnya mengingat kotoran hewan banyak mengandung NH3 dan tanah pertanian mengandung urea. Amoniak di tanah semula akan menetralkan asam, namun garam-garam ammonia yang terbentuk akan teroksidasi menjadi asam nitrat dan asam sulfat. Disisi lain amoniak yang menguap ke udara dengan uap air akan membentuk ammonia hingga memungkinkan penetralan asam yang ada di udara.
Pembentukan Asam Clorida (HCl)
Asam klorida biasanya terbentuk di lapisan stratosfer, dimana reaksinya melibatkan Chloroflorocarbon (CFC) dan radikal oksigen O*
CFC + hv (UV) → Cl* + produk
CFC + O* → ClO + produk
O* + ClO → Cl* + O2
Cl + CH4 → HCl + CH3
Reaksi di atas merupakan bagian dari rangkaian reaksi yang menyebabkan deplesi lapisan ozon di stratosfer. Perbandingan ketiga asam tersebut dalam hujan asam biasanya berkisar antara 62 persen oleh Asam Sulfat, 32 persen Asam Nitrat dan 6 persen Asam Chlorida.[7]

C.    Problematik Obyektifitas dan Pencemaran Lingkungan
Sebagai manusia yang diberi kemampuan merenung dan menggunakan pikirannya untuk bernalar. Kemampuan berfikir dan bernalar itu pula yang membuat kita sebagai manusia menemukan berbagai pengetahuan baru. Pengetahuan baru itu kemuadian kita gunakan untuk mendapatkan manfaat yang sebesar-besarnya dari lingkungan alam yang tersedia di sekitar kita. Akan tetapi sering kita lalai bahwa apa yang kita temukan dan terapkan agar mendapatkan manfaat yang sebesar-besarnya dari teknologi yang kita hasilkan itu menimbulkan pengaruh sampingan yang menimbulkan kemudaratan.[8]
Aldo Leopold dalam bukunya “The land ethics “ menyatakan bahwa masalah lingkungan sebenarnya berakar pada filsafat alam dan sepenuhnya membutuhkan pemecahan secara filosofis pula. Bagi etika lingkungan, filsafat barat rupanya tidak selalu mendukung apa yang menjadi asumsi dasar etika lingkungan. Memang, refleksi tentang alam sudah muncul sejak Filsuf dari Melitus yaitu Thales, Anaximander dan Anaxagoras. Bahkan dalam mencari arkhai mereka menjadikan alam sebagai unsur dasarnya. Lihat pendapat Thales yang melihat bahwa segala sesuatu berasal dari air, di dalam benda-benda di bumi terdapat dewa. Heraclitos berpendapat bahwa api adalah awal dari segala sesuatu, Xenophanes melihat tanah sebagai arkhe, Empedocles mengajukan empat element yaitu: tanah, udara, api dan air. Walaupun menolak beberapa pemikiran Parmenides, umumnya para filsuf  pra sokratik ini menerima konsep bahwa  dunia mempunyai “ rational structure “ , tidak berubah, tidak dapat dibagi-bagi, tidak dapat dihancurkan dan tidak dapat digerakkan.[9]
Pola pendekatan manusia modern terhadap alam dapat disebut sebagai pola pendekatan teknokratik, yakni manusia ingin sekedar menguasai dunia. Ala sekedar sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan manusia. Alam hanya sebagai tumpukan kekayaan dan energy untuk dimanfaatkan. Bahwa alam bernilai untuk dirinya sendiri sehingga perlu dipelihara tidak termasuk dalam wawasan teknokratik. Setiap teknokratisme dapat diringkas sebagai sikap merampas dan membuang; alam dibongkar untuk mengambil apa saja yang diperlukan, begitu pula produk-produk samping pekerjaan manusia begitu saja dibuang.[10]
Masalah teknologi yang dihasilkan manusia seiring dengan tujuan untuk memenuhi kepuasan manusia dan memperkaya diri sendiri dengan berdirinya pabrik-pabrik yang dengan mudah substansi kimia yang beracun seperti asap yang ditimbulkan dibuang ke atmosfer kita. Kendaraan bermotor yang sudah tanpa kendali merajalela berlalu lalang dijalanan yang menimbulkan asap-asap yang berhamburan ke atmosfer tanpa ada upaya untuk memperbaikinya dan gas buang suatu PLTU yang juga menghasilkan gas asam sulfat. Dengan begitu banyaknya kegiatan manusia yang tidak kenal waktu menyebabkan alam tidak mampu lagi menjaga keseimbangannya dan akhirnya dampak dari kecanggihan teknologi tersebut terjadinya hujan asam walaupun sebenarnya hujan asam dapat mencegah adanya global warming akan tetapi efek samping yang dihasilkan akan menyebabkan kerusakan lingkungan yang lebih besar. Tidak hanya pada lingkungan biotik tetapi juga pada lingkungan abiotik seperti:
1.         Danau dimana kelebihan zat asam akan menyebabkan plankton dan mahluk hidup yang ada tidak dapat bertahan hidup.
2.         Tumbuhan dan hewan dimana nutrisi yang dibutuhkan oleh tumbuhan akan larut bersama dan juga akan melepaskan zat kimia yang eracun yang akan menghambat pertumbuhan sehingga tumbuhan mudah terserang penyakit, begitu pula pada hewan yang juga memiliki ambang batas terhadap pH, ketika semakin meningkat maka hewan tersebut akan langsung mati dan akan menyebabkan kepunahan spesies.
3.         Kesehatan manusia dimana hasil penelitian menunjukkan bahwa sulphur dioxide yang dihasilkan oleh hujan asam juga dapat bereaksi secara kimia didalam udara, dengan terbentuknya partikel halus suphate, yang mana partikel halus ini akan mengikat dalam paru-paru yang akan menyebabkan penyakit pernapasan. Selai itu juga dapat mempertinggi resiko terkena kanker kulit karena senyawa sulfat dan nitrat mengalami kontak langsung dengan kulit.
4.         Korosi dimana hujan asam dapat mempercepat terjadinya pengkaratan pada beberapa material dan juga bangunan-banguana tu, maupun monument karena dapat melarutkan kalsium karbonat.
Dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini  tidak hanya memiliki dampak positif yang tetapi juga dampak negative dari teknologi tersebut kita juga yang menanggung kalau tidak kita perbaiki.

IV.            KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1.      Dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan pesatnya kemajuan teknologi akan membawa kemakmuran dan kemudahan bagi kehidupan manusia.
2.      Dampak positif yang dapat dirasakan yaitu dapat mempermudah pemenuhan kebutuhan bagi manusia, dan juga semakin cerdasnya masyarakat yang disertai dengan kenaikan kesejahteraan dan kemakmuran.
3.      Hujan asam sebenarnya dapat mencegah global warming hanya saja dampak yang disebabkan oleh adanya hujan asam akan merusak lingkungan yang lebih parah dibandingkan dengan global warming.
4.      Dampak dari hujan asam tidak hanya merusak lingkungan biotik tetapi juga akan merusak lingkungan abiotik seperti: danau, tumbuhan dan hewan, kesehatan manusia, terjadinya korosi dan lain-lain.

V.            PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat kami sampaikan, kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Untuk itu saran dan kritik yang bersifat membangun, sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Dan kami minta maaf apabila terdapat banyak kesalahan baik dalam sistematika penulisan, isi dari pembahasan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pemakalah sendiri pada khususnya dan pembaca sekalian. 

DAFTAR PUSTAKA

Achmad, Rukaesih. 2004. Kimia Lingkungan. Jakarta: ANDI Yogyakarta
Khallel, Kasem. 2003. Science In the Name Of God. Illinois, USA: Knowledge House
Muzairi. 2009. Filsafat Umum. Yogyakarta: Teras
Musfil A. S, Diktat PLI. 2008.  Isu Lingkungan Global. Surabaya: Teknik Kimia ITS
Nasution, Andi Hakim. 1999. Pengantar ke Filsafat Sains. Bogor: Litera AntarNusa
Peursen, CA Van. 1989.  Susunan ilmu Pengetahuan, sebuah Pengantar Filsafat Ilmu, diterjemahkan oleh J. Drost. Jakarta: PT. Gramedia
Suryasumantri, Jujun S. 1998. Filsafat ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
Verhaak,C. 1994. Filsafat Ilmu Pengetahuan Tealaah Atas Kerja Ilmu Ilmu. Jakarta: PT. Gramedia

[1] Dr. Rukaesih Achmad, M.Si, Kimia Lingkungan, 2004, (Jakarta: ANDI Yogyakarta), hlm. 1
[2] Muzairi, M.Ag, Filsafat Umum, 2009, (Yogyakarta: Teras), hlm. 5-7
[3] Verhaak.C, Filsafat Ilmu Pengetahuan Tealaah Atas Kerja Ilmu Ilmu, 1994, (Jakarta: PT. Gramedia), hlm. 5
[4] Suryasumantri, Jujun S, Filsafat ilmu Sebuah Pengantar Populer, 1998, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan), hlm. 11  
[5] Peursen, CA Van, Susunan ilmu Pengetahuan, sebuah Pengantar Filsafat Ilmu, diterjemahkan oleh J. Drost, 1989, (Jakarta: PT. Gramedia), hlm. 16
[6] Dr. Kasem Khallel, Science In the Name Of God, 2003, (Illinois, USA: Knowledge House), hlm. 43   
[7] Musfil A. S, Diktat PLI, Isu Lingkungan Global, 2008, (Surabaya: Teknik Kimia ITS)
[8] Andi Hakim Nasution, Pengantar ke Filsafat Sains, 1999, (Bogor: Litera AntarNusa), hlm. 193  

0 komentar:

Posting Komentar